Saturday 24 October 2015

UPAYA PENGAMBIL ALIHAN PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN PADA FIR (FLIGHT INFORMATION REGION ) SINGAPURA DIATAS KEPULAUAN NATUNA OLEH INDONESIA SEBAGAI USAHA REKONSTRUKSI PERJANJIAN INDONESIA SINGAPURA TAHUN 1955




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah Perjanjian Internasional dengan judul “Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan pada  (Flight Information Region ) Singapura diatas Kepulauan Natuna oleh Indonesia sebagai usaha rekonstruksi perjanjian Indonesia Singapura tahun 1955" dengan tepat waktu.
Terimakasih kepada Pak Joko Setiyono yang telah memberikan bimbingan selama pengerjaan makalah Perjanjian Hukum Internasional dan juga kepada sumber buku, artikel, yang menjadi sumber penulisan makalah dengan judul “pengambil alihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR (Flight Information Region ) Singapura diatas Kepulauan Natuna oleh Indonesia sebagai usaha rekonstruksi perjanjian Indonesia Singapura pada tahun 1955”
Tak ada gading yang tak retak.Demikian pula, tak ada karya yang sempurna.Oleh karena itu, penyaji mengharapkan kritik dan saran dari pembahas untuk kemajuan makalah ini di masa mendatang.










DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian FIR
2.2 Perbedaan FIR dengan Wilayah Teritorial
2.3 Proses Pendelegasian Pengelolaan FIR dari Indonesia ke Singapura
2.4 Dampak Pengelolaan FIR oleh SIngapura Terhadap Indonesia
2.5 Upaya Pemerintah Indonesia dalam mengembalikan pengelolaan FIR
2.6 Hambatan-hambatan Pemerintah Indonesia dalam Upaya Pengambil alihan Pengelolaan FIR

BAB III
3.1 Kesimpulan
3.2 Rekomendasi

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Berdasarkan pembagian FIR sesuai dengan ketentuan ICAO dan agreement yang dibuat antara pemerintah Indonesia dan Singapura, maka pengaturan keselamatan penerbangannya dilakukan oleh ATC Singapura.Kewenangan yang dimiliki oleh ATC Singapura menyebabkan segala aktifitas penerbangan yang berada di FIR Singapura harus berada dibawah otoritas Singapura, termasuk juga pesawat udara sipil dan pesawat udara negara yang berasal dari Indonesia.
            Dalam Pasal 262 ayat (1) huruf (a) dan Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan.Indonesia dapat mendelegasikan pemanduan lalu lintas udara tsb kepada Singapura.Pendelegasian tsb tidak mengurangi kedaulatan negara Republik Indonesia. Dalam hal Indonesia telah mampu, maka pendelegasian tsb dapat diambil kembali oleh Indonesia.Selain pendelegasian FIR kepada Singapura, Indonesia juga memberikan hak komunikasi dilaut dan udara kepada Malaysia yang menghubungkan Malaysia Barat dan Malaysia Timur yang merupakan kawasan yang masuk FIR Singapura.
Beberapa hal pokok yang terdapat dalam perjanjian yang ditanda-tangani pada Tahun 1995 dan diperkuat oleh Kepres No.07/1996 Tentang Pengesahan Agreement between the Government of The Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realignmnet of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information Region adalah :
a.       Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah A kepada Singapura dari permukaan laut sampai ketinggian 37.000 feet.
b.      Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan diwilayah sektor B kepada Singapura dari permukaan laut sampai dengan ketinggian tak terhingga (unlimited height).
c.       Sektor C tidak termasuk dalam perjanjian
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana dampak yang ditimbulkan bagi Indonesia terhadap pengelolaan FIR oleh Singapura di Kepulauan Natuna?
- Apakah upaya pemerintah dalam mengembalikan pengelolaan FIR Indonesia di Kepulauan Natuna terhadap?
- Apakah Hambatan-hambatan Pemerintah Indonesia dalam Upaya Pengambil alihan Pengelolaan FIR

1.3 Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perjanjian Internasional yang diampu oleh Dr. Joko Setiyono SH. Mhum.
           
1.4 Manfaat Penulisan
            Menambah wawasan mahasiswa fakultas hukum Universitas Diponegoro tentang kasus pengambil alihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR (Flight Information Region ) Singapura diatas Kepulauan Natuna oleh Indonesia sebagai usaha rekonstruksi perjanjian Indonesia Singapura pada tahun 1955 serta mengetahui wilayah mana saja yang termasuk di dalam kedaulatan Indonesia.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN FIR
Dalam penerbangan, wilayah informasi penerbangan (bahasa Inggris: flight information region; FIR) adalah wilayah ruang udara tertentu yang menyediakan layanan informasi penerbangan dan layanan peringatan (ALRS). FIR adalah pembagian ruang udara terbesar yang masih digunakan saat ini.FIR sudah ada sejak 1947.
Setiap bagian atmosfer Bumi adalah bagian dari sebuah FIR.Ruang udara negara-negara kecil dicakup oleh satu FIR; ruang udara negara-negara besar dibagi lagi menjadi beberapa FIR regional.
Sejumlah FIR melintasi ruang udara darat beberapa negara.Ruang udara laut dibagi menjadi Wilayah Informasi Laut (Oceanic Information Region) dan diserahkan kepada otoritas pengendali yang paling dekat dengan wilayah itu.Pembagian wilayah dilakukan melalui perjanjian internasional lewat International Civil Aviation Organization (ICAO).
Tidak ada ukuran standar untuk FIR.FIR itu urusan administratif negara yang dicakupnya. Kadang-kadang ada pembagian FIR vertikal yang ruang udara bawahnya tidak berubah nama, namun ruang udara di atasnya diberi nama Wilayah Informasi Atas (UIR).
Layanan informasi dan peringatan merupakan layanan lalu lintas udara paling dasar, menyediakan informasi yang penting untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan dan memperingatkan otoritas terdekat seandainya ada pesawat yang mengalami kondisi darurat.Layanan ini tersedia untuk semua pesawat melalui FIR.Layanan saran dan pengawas lalu lintas udara yang lebih tinggi tersedia di ruang udara tertentu di dalam FIR, atau kelas bagian ruang udara menurut ICAO (sesuai peraturan nasional).Layanan tersebut disediakan oleh otoritas yang cocok dan peralatannya lengkap.

2.2 PERBEDAAN FIR DENGAN WILAYAH TERITORIAL
a. Teritorial adalah wilayah kekuasaaan suatu negara dalam melaksanakan yuridiksinya, dan sudah diakui oleh negara lain sebagai bagian dari yuridiksinya baik udara, darat dan laut sedangkan FIR adalah wilayah ruang udara tertentu yang menyediakan layanan informasi penerbangan dan layanan peringatan (ALRS). FIR adalah pembagian ruang udara terbesar yang masih digunakan saat ini.FIR merupakan pelengkap atau sebagai bukti bahwa udara merupakan hak yuridiksi teritorial suatu negara.
b. Teritorial juga Memberlakukan Prinsip Teritorial Subjektif (Subjective Territorial Principle) : untuk menuntut dan menghukum perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan dalam wilayahnya, tetapi perbuatan itu diselesaikan di wilayah negara lain. (Geneva Convenstion for Suppression of Counterfeiting Currency 1929 dan Geneva Convention for Suppression of Illicit Traffic Drug).

Memberlakukan Prinsip Teritorial Objektif (Objective Territorial Principle) : negara-negara tertentu menerapkan yurisdiksi teritorial mereka terhadap tindakan pidana yang dilakukan di negara lain, tetapi :
-Dilaksanakan/diselesaikan di wilayah mereka
-Melaksanakan akibat yang sangat berbahaya bagi wilayah mereka (ekonomi, sosial).
 Sedangkan FIR mengatur FIR itu urusan administratif negara yang dicakupnya. Kadang-kadang
ada pembagian FIR vertikal yang ruang udara bawahnya tidak berubah nama, namun ruang udara diatasnya diberi nama Wilayah Informasi Atas (UIR).
c.Terriorial mengatur tentang udara, darat dan laut sedangkan FIR  mengatur udara diatas laut, udara diatas darat sehingga dapat disimpulkan bahwa FIR hanya mengatur tentang kewenangan negara mana tentang udara sedangkan teritorial mencakup udara juga tetapi tidak sedetail FIR.

2.3 PROSES PENDELEGASIAN RUANG UDARA INDONESIA KEPADA FIR SINGAPURA
FIR Natuna terdiri atas 3 sektor yaitu Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna.Sektor tersebut merupakan salah satu jalur penerbangan (airways) yang terpadat di regional Asia dan Pasifik, dibentuk ata spersetujuan bersama negara-negara anggota ICAO tahun 1946.Pada saat itu negara-negara anggota ICAO menunjuk Inggris untuk melakukan pengelolaan terhadap FIR Natuna.Inggris kemudian mendelegasikan pelayanan tersebut kepada Singapura setelah Singapura merdeka pada tahun 1965.
Pada tahun 1946 wilayah perairan dan sekitar Natuna merupakan bagian dari laut bebas (high seas) dan belum termasuk ke dalam wilayah (territory) Negara Indonesia. Oleh karena itu, negara Indonesia dipandang bukan sebagai pihak yang memiliki kepentingan atas wilayah perairan dan kepulauan Natuna, sehingga pada saat negara-negara anggota ICAO akanmelakukan penentuan mengenai otoritas mana yang tepat dierikan tanggung jawab atas penyediaan pelayanan jasa penerbangan (Air Traffics Services/ATS) terhadap FIR di atas kepulauan Riau dan Natuna, maka mereka menunjuk kepada Singapura, salah satu negara persemakmuran (commonwealth) Inggris, umtuk melakukan pengelolaan FIR. Selain itu, Indonesia sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945, berada dalam masa transisi, dimana disamping belum memiliki batas-batas wilayah negara yang jelas dengan negara tetangga, juga Indonesia pada saat itu belum menjadi negara peserta Konvensi Chicago 1944, karena hal itu baru dilakukan pada tahun 1950 pada saat Indonesia menjadi anggota ICAO. Pada saat Regional Air Navigation (RAN) Meeting I yang diselenggarakan di Honolulu Hawai tahun 1973, pada pertemuan tersebut ditetapkan kembali oleh Dewan ICAO bahwa ruang udara di atas kepulauan Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna termasuk dalam FIR Singapura. Hal itu kembali dikukuhkan pada RAN Meeting II tahun 1983 di Singapura. Pada pertemuan RAN Meeting III di Bangkok tahun 1993, Indonesia membuat suatu proposal tentang pengembangan pelayanan navigasi penerbangan di atas kepulauan Natuna dan membuat Working Paper No. 55 tentang “Kegiatan yang akan direncanakan untuk dilaksanakan di atas Kepulauan Natuna” dan meinjau ulang batas FIR.
Pertemuan menyepakati bahwa Working Paper No. 55 dapat diterima, namun dengan adanya counter paper oleh Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan secara bilateral antara Indonesia dan Singapura. Setelah melalui proses pembahasan yang cukup lama antara pemerintah Indinesia yang diwakili oleh Directorate General of Air Communications (DGCA), Indonesia dan pemerintah Singapura dihasilkan suatu perjanjian mengenai pengalihan batas FIR Jakarta dan FIR Singapura. Inti dari perjanjian tersebut adalah membagi ruang udara Indonesia di atas kepulauan Riau dan Natuna ke dalam Sektor A, B, dan C dimana Sektor A (dari permukaan laut – 37.000 kaki) didelegasikan kepada Singapura, sektor B (dari permukaan laut – ketinggian tak terhingga) didelegasikan kepada Singapura, sedangkan Sektor C masih akan diselesaikan antara Indonesia-Malaysia-Singapura. Selanjutnya, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Route Air Navigation Services (RANS) Charges di wilayah udara yurisdiksi Indonesia, khususnya pada sector A yang telah didelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan kepada Singapura, dan hasil yang terkumpul diserahkan ke Pemerintah Indonesia.

WILAYAH FIR
https://kakniam.files.wordpress.com/2011/04/natuna-fir.gif
2.4 Dampak pengelolaan FIR oleh singapura terhadap Indonesia

a. Pelanggaran Kedaulatan Negara di Udara

Ahli tentang Kedaulatan yaitu Jean Jascques Rousseau dalam karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politiques (mengenai kontrak social atau prinsip- prinsip hak politik) menyebutkan dan membagi tingkatan kedaulatan menjadi dua bagia yaitu secara de facto dan de jure. De facto berarti mengacu kepada hal yang terjadi pada  praktek atau kenyataannya,sedangkan de jure mengacu kepada hal-hal yang berdasarkan  pada hukum.
Apabila dikaitkan dengan penguasaan ATC oleh Singapura di Kepulauan Riau maka dapat dikatakan bahwa secara de facto kepunyaan Singapura dan secara de  jure adalah milik Indonesia.
Pasal 1 Konvensi Chicago mengutip dari Pasal Konvensi Paris Tahun 1919 yang  berbunyi  “The high contracting States recognize that over power has complete and exclusive over the airspace above its territory” yang memperdebatkan apakah ruang udara itu benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan kedaulatan Negara dibawahnya atau terbatas seperti laut territorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Hal ini dapat diselesaikan  pada Konvensi Chicago 1944 seperti yang terdapat dalam Pasal 1 tersebut. Dengan demikian menurut penulis, ruang udara di wilayah Negara merupakan wilayah kedaulatan udara pada Negara tersebut dan bukan sebagai wilayah bebas untuk dilalui oleh penerbangan internasional.
 Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) melalui satuan yang berada dibawah jajarannya yakni Komando Sekctor 1 (Kosek 1) telah sering menangkap  pergerakan pesawat asing, khususnya pesawat militer Singapura di Kepulauan Riau melalui Radar 213 Tanjung Pinang dan Satuan Radar 212 Natuna pergerakan pesawat tersebut tanpa suatu Flight Clearance yang semestinya sudah menjadi keharusan apabila  pesawat asing terbang di wilayah udara Indonesia. Tindakan ini dikategorikan sebagai Black Flight dan merupakan tindakan pelanggaran wilayah udara Nasional. Pelanggaran wilayah udara selama tahun2008 yang terjadi di Kosekhannudnas 1 adalah 18 kali dan tahun 2009 sebanyak 15 kali (Data dari Kosekhanudnas 1, 2010).  

b.Kelemahan Aspek Pertahanan Udara
            Dalam strategi penggunaan kekuatan udara, maka pengendalian atau control terhadap ruang udara sangat mutlak diperlukan untuk memberikan keleluasaan pada suatu tindakan ofensif.Selain itu juga memberikan kemudahan untuk pergerakan kekuatan di darat dan pergerakan di laut. Kharakteristik keunggulan kekuatan udara seperti berupa kecepatan, penyusupan dan pendadakan seringkali dijadikan sebagai teori dasar untuk menghancurkan
Center of Gravity musuh. Sehingga dalam pertempuran udara, strategi penggunaan kekuatan udara akan selalu terkait dengan pencapaian keunggulan di udara.
 James J. Petroni mengatakan, bahwa: Resiko (Risk) = Ancaman (Treath)+Kerentanan (Vulnerability) -Kemampuan (Capability). Rumusan ini memberikan penjelasan bahwa resiko yang dihadapi oleh bangsa Indonesia akan sangat  besar bila ancaman (treath) dan kerentanan juga sangat besar. Jika dihadapkan pada kemampuan yang dimiliki saat ini, maka akan menghasilkan resiko sangat besar bagi  bangsa Indonesia. Kondisi ini bila dikaitkan dengan penguasaan ATC  oleh Singapura  beserta kemampuan kekuatan udaranya, jelas hal ini menimbulkan suatu resiko. Besar atau kecilnya suatu resiko akan tergantung pada bagaimana pemerintah Indonesia mengurangi potensi ancaman dan mengurangi kerentanan yang terjadi saat ini.
Perkiraan resiko dari penguasaan ATC  adalah sangat besar karena ancaman yang dihadapi ada didepan mata. Hal ini semakin bertambah karena berbatasan dengan  Negara tetangga yang mempunyai kemampuan militer cukup baik. Dengan keterbatasan wilayah darat, laut dan sekaligus wilayah udara, maka penguasaan ATC  tersebut memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Singapura untuk melakukan tindakan illegal seperti kegiatan Intelijen, pemotreta udara, dan melatih para penerbangnya melaksanakan latihan/
training di wilayah udara Indonesia. Bila keadaan ini terus  berlanjut maka bila terjadi konflik terbuka maka akan dapat dijadikan strategi operasi udara dan akan menjadi suatu ancaman karena Singapura akan memanfaatkan karakteristik keunggulan kekuatan udara berupa kecepatan dan pendadakan.

c. Kerugian Ekonomi
 Pengertian Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2009 tentang  penerbangan sangat jelas menyebutkan bahwa penerbangan oleh pesawat asing yang rute  penerbangannya melewati wilayah udara Nasional Indonesia harus mendapat ijin dari Pemerintah Indonesia, dan pemerintah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk membangun strategi pertahanan dan meningkatkan perekonomian nasional dengan memanfaakan media udara. Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan juga bahwa wilayah udara yang berupa ruang udara di atas perairan dan daratan Republik Indonesia merukapakan kekayaan Nasional yang harus dimmanfaatkan sebesar besarnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Departemen Perhubunngan dibuat untuk mengoptimalkan penerimaan Negara dalam menunjang kesejahteraan rakyat. Dari aspek ekonomi, ruang udara jelas merupakan salah satu sumber pendapatan Negara selain minyak dan gas bumi, karena setiap penerbangan di atas wilayah Indonesia dikenakan pungutan, walaupun pungutan itu harus dikembalikan lagi ke pemerintah Indonesia untuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk menjamin keselamatan penerbangan.
Rute penerbangan yang dilewati oleh pesawat udara sesuai dengan Rans Charges, berkewajiban membayar penggunaan media udara untuk navigasi udara sesuai dengan  jarak yang ditempuh oleh sebuah pesawat.Hal ini sudah berlaku umum dalam dunia  penerbangan dan pelayanan jasa terkait Bandar udara dikenakan tariff yang berlaku pada masing-masing Negara. Persoalan bidang ekonomi yang perlu dipetanyakan adalah, apakah fee yang diserahkan ke pemerintah Indonesia sudah merupakan keseluruhan fee  penerbangan .

2.5 Upaya yang Dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan pengelolaan FIR kepada Indonesia diatas Kepulauan  Natuna

          Langkah Diplomatik
-          Indonesia mengirim DELRI ke Asia Pasific Third RAN Meeting di Bangkok bulan Mei 1993. Indonesia seorang pejabat operasional sedangkan Singapura terdiri atas jaksa agung, sekjen Perhubungan, para penasehat hukum internasional maupun hukum laut. Keputusannya agar diselesaikan secara bilateral dan dilaporkan pada RAN Meeting berikutnya.
-          Pada tataran operasional, Indonesia maupun Singapura saling mengunjungi. Dalam pembahasan terdapat perbedaan pendapat mengenai batas wilayah laut berdasarkan UNCLOS 1982 dan Perpu No.4 Tahun 1960. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982, tetapi Indonesia belum menetapkan batas 12 mil berdasarkan UNCLOS 1982, justru yanga da wilayah perairan berdasarkan Perpu No.4 Tahun 1960 yang baru didaftarkan tahun 1989.

          Langkah Teknis
-          Indonesia telah menyiapkan perangkat keras untuk melayani FIR seperti PSR dan SSR di Tanjung Pinang, PSR (long range di Pontianak), SSR di Natuna, ER-VHF air ground and VSAT to transport data from all facilities. Kemudian secara berturut-turut dilakukan pembahasan pada bulan Desember 1993 dan berakhir bulan Februari 1994.
-          Kesepakatan FIR Zona A radius 100 mil pada ketinggian 20.000 ft masih dilayani Singapura dan Singapura membayar biaya navigasi udara ke salah satu BUMN. Sebenarnya FIR sudah sejak 1993 dan telah dilengkapi dengan berbagai peralatan, tampaknya pada saat itu kurang sungguh-sungguh. Indonesia harus menyiapkan peralatan yang terkini dan pelayanan yang prima.

          Langkah Operasional
-          Menyiapkan fasilitas navigasi penerbangan seperti PSRdan SSR Tanjung Pinang, PSR, SSR Natuna, ER-VHF air-ground and VSAT to transport data from all facilities
-          Mempertimbangkan penggua jasa navigasi penerbangan baik penerbangan nasional maupun asing
-          Forum internasional terutama negara-negara blok Commonwealth pasti mendukung Singapura karena mereka sepakat saling membantu, khususnya Malaysia dalam beberapa hal memihak Singapura.

Tindak Lanjut Pemerintah RI terhadap Singapura dan Malaysia
-          Dengan Pihak Singapura :
o         Mengkaji ulang LOA antara pemerintah Indonesia dan Singapura tentang pengelolaan ruang udara diatas kepulauan Natuna.
o         Menindaklanjuti kesepakatan data batasan terluar wilayah sektor B, disesuaikan dengan PP RI No.37 Tahun 2008 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
o         Menambah Batas Ketinggian diatas Aerodrome Traffic Zone Batam
o         Menata ulang pengelolaan wilayah ruang udara sektor A, B, C
o         Penempatan personil ATC Indonesia di ACC Singapore serta penempatan personil management di CAA Singapore
o         Pengembangan ruang udara Approach Control Service oleh Tanjung Pinang disekitar Natuna

-          Dengan Pihak Malaysia
o         Mengusulkan alternative untuk pembahasan selanjutnya, antara lain :
o                     Indonesia mengelola ruang udara area sektor B secara keseluruhan atau sebagian
o                     Indonesia memberikan kebebasan pembayaran jasa pelayanan navigasi penerbangan bagi pesawat terbang Malaysia
o         Pembahasan dan kesepakatan batas-batas negara RI dengan Singapura dan Filipina telah selesai, namun dengan Malaysia belum selesai.
o         Pembuatan koridor udara untuk mengakomodir hak lintas bagi pesawat udara Malaysia.

2.6 Hambatan - hambatan dalam upaya mengembalikan FIR
1. Peralatan Singapura lebih modern  dan sudah menggunakan satelit dalam mengatur lalu lintas udara.
2. Kemampuan dan Fasilitas Navigasi Indonesia tidak memungkinkan untuk  mendapatkan peluang memegang kendali atas lalu lintas udara di kawasan Asia.
3. Radar yang digunakan Indonesia masih menggunakan radar darat yang jangkauannya yang tak terlalu luas , kemungkinan harus diganti fasilitas yang lebih modern.
4. Sebelumnya harus dibuat  rencana cadangan yang andal apabila ada gangguan pada sistem navigasi.
5. Keterbatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam(SDA)  yang seharusnya bisa meng-handle dan mengontrol wilayah udarannya sendiri tanpa melibatkan negara lain.
6. Indonesia belum mampu mengatur penerbangan internasional yang cukup padat di udara.
7. Minimnya kualitas  infrastruktur dan maupun kesiapan peralatan pendukung keselamatan penerbangan.















BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam Pasal 262 ayat (1) huruf (a) dan Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan.Indonesia dapat mendelegasikan pemanduan lalu lintas udara tsb kepada Singapura.Pendelegasian tsb tidak mengurangi kedaulatan negara Republik Indonesia. Dalam hal Indonesia telah mampu, maka pendelegasian tsb dapat diambil kembali oleh Indonesia.Selain pendelegasian FIR kepada Singapura, Indonesia juga memberikan hak komunikasi dilaut dan udara kepada Malaysia yang menghubungkan Malaysia Barat dan Malaysia Timur yang merupakan kawasan yang masuk FIR Singapura.
Secara yuridis Indonesia mempunya dasar hukum yang kuat untuk mengambl alih wilayah FIR diatas Pulau Natuna.Zona A masihdiawasi Singapura dalam imbal jasa, tetapi masih dengan catatan, apabila Indonesia dapat membuktikan wilayahnya.Malaysia ada indikasi tetap mendukung Singapura FIR diatas Pulau Natuna.FIR pada prinsipnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hakekat kedaulatan wilayah udara dalam masing-masing negara.Pengelolaan FIR yang merupakan bagian kedaulatan wilayah udara NKRI diatas kepulauan Riau dan Natuna oleg Singapura memiliki dasar legalitas.

Rekomendasi
Dalam rangka pengambil alihan FIR perlu mempertimbangkan peran negara-negara Commonwealth dan para pengguna jasa penerbangan




DAFTAR PUSTAKA

Buku
Pramono,agus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor : Ghalia Indonesia

Dasar Hukum
-          Landasan Filosofis Pancasila Sila 1 sampai dengan ke 5
-          Perjanjian Bilateral Indonesia-Singapura mengenai Pengelolaan FIR Diatas Kepulauan Natuna tahun 1955
-          Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 498.
-          Undang-Undang No.1 Tahun 1983 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dann Malaysia Tentang Rejim Hukum Negara Nusantara dan Hak-Hak Malaysia Di Laut Teritorial Dan Perairan Nusantara Serta Ruang Udara Diatas Laut Teritorial, Perairan Nusantara Dan Wilayah Republik Indonesia Yang Terletak Di Antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat
-          PP No. 37 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas PP o. 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
-          ICAO Annex 11 Air Traffic Services
Jurnal dan Lain-lain
-         Aspek Kelayakan dan Teknis Operasional Pelayanan Navigasi Penerbangan Diatas Pulau Natuna
Oleh : Prof. Dr. H. K Martono SH LLM McSc
-         Aspek Kebijakan Pemerintah tentang Pelayanan Navigasi Penerbangan / Flight Information Region (FIR)
Oleh Ir. Santoso Eddy Wibowo ( Sekretaris Jenderal Perhubungan)
-         Aspek Hukum Internasional atas Pelayanan Navigasi Penerbangan / Flight Information Region. Oleh : Dr. Agus Pramono, S.H., M.Hum
Internet





No comments:

Post a Comment