Hukum Ekonomi
Internasional
Perbedaan Tarif dan
Non Tarif beserta Kasusnya dalam Perdagangan Internasional
Hambatan tarif (tariff
barrier) adalah suatu kebijakan proteksionis terhadap barang-barang
produksi dalam negeri dari ancaman membanjirnya barang-barang sejenis yang
diimpor dari luar negeri. Tarif adalah hambatan perdagangan yang
berupa penetapan pajak atas barang-barang impor atau barang-barang
dagangan yang melintasi daerah pabean (custom area). Sementara itu,
barang-barang yang masuk ke wilayah negara dikenakan bea masuk. Efek
kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan
pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus
membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan
mendorong konsumen menggunakan produk domestik.
1.Bea
Ekspor (export duties) adalah pajak/bea yang dikenakan
terhadap barang yang diangkut menuju negara lain (di luar costum area).
2.Bea
Transito (transit duties) adalah pajak/bea yang dikenakan
terhadap barang-barang yang melalui batas wilayah suatu negara dengan tujuan
akhir barang tersebut negara lain.
3.Bea
Impor (import duties) adalah pajak/bea yang dikenakan
terhadap barang-barang yang masuk dalam suatu negara (tom area).
B. Jenis Tarif:
1. Ad
valorem duties, yakni bea pabean yang tingginya dinyatakan dalam presentase
dari nilai barang yang dikenakan bea tersebut.
2.Specific
duties, yakni bea pabean yang tingginya dinyatakan untuk tiap ukuran fisik
daripada barang.
3.Specific
ad valorem atau compound duties, yakni bea yang merupakan
kombinasi antara specific dan ad valorem. Misalnya suatu barang tertentu
dikenakan 10% tarif ad valorem ditambah Rp 20,00 untuk setiap unit.
C. Sistem Tarif :
1.
Single-column tariffs : sistem di mana untuk masing-masing
barang hanya mempunyai satu macam tarif. Biasanya sifatnya autonomous
tariffs (tarif yang tingginya ditentukan sendiri oleh sesuatu negara
tanpa persetujuan dengan negara lain). Kalau tingginya tarif ditentukan dengan
perjanjian dengan negara lain disebut conventional tariffs.
2.
Double-column tariffs : sistem di mana untuk setiap barang
mempunyai 2 (dua) tarif. Apabila kedua tarif tersebut ditentukan sendiri dengan
undang-undang, maka namanya : “bentuk maksimum dan minimum”.
3.
Triple-column tariffs : biasanya sistem ini digunakan oleh
negara penjajah. Sebenarnya sistem ini hanya perluasan daripada double column
tariffs, yakni dengan menambah satu macam tariff preference untuk negara-negara
bekas jajahan atau afiliasi politiknya. Sistem ini sering disebut dengan nama “preferential
system”.
D.
Efek tarif :
Pembebanan
tarif terhadap sesuatu barang dapat mempunyai efek terhadap perekonomian suatu
negara, khususnya terhadap pasar barang tersebut. Beberapa sfek tarif tersebut
adalah :
- Efek
terhadap harga (price effect)
- Efek
terhadap konsumsi (consumption effect)
- Efek
terhadap produk (protective/import substitution effect)
- Efek
terhadap redistribusi pendapatan (redistribution effect)
E.
Effective Rate of Protection
Tarif
terhadap bahan mentah akan menaikkan ongkos produksi. Apabila tarif hanya dikenakan
pada barang jadi maka harga barang tersebut akan naik. Hubungan antara tarif
terhadap barang jadi dan tarif terhadap bahan mentah dapat dinyatakan dengan
adanya “effective rate of protection” yang dinikmati oleh produsen yang
memproses barang jadi tersebut.apabila barang jadi dan juga bahan mentah impor
itu dikenakan tarif, maka effective rate of protection bagi produsen barang
tersebut makin tinggi apabila makin rendah tarif terhadap bahan mentah.
F.
Alasan pembebanan tarif :
1. Yang
secara ekonomis dapat dipertanggungjawabkan
a.
Memperbaiki dasar tukar
Pembebanan
tarif dapat mengurangi keinginan untuk mengimpor.Ini berarti bahwa untuk
sejumlah tertentu ekspor menghendaki jumlah impor yang lebih besar, sebagian
daripadanya diserahkan kepada pemerintah sebagai pembayaran tarif.
b. Infant-industry
Pembebanan
terif terhadap barang dari luar negeri dapat memberi perlindungan terhadap
industri dalam negeri yang sedang tumbuh ini.
c.
Diversifikasi
Pembebanan
tarif industry dalam negeri dapat berkembang sehingga dapat memperbanyak jumlah
serta jenis barang yang dihasilkan terutama oleh negara yang hanya menghasilkan
satu atau beberapa macam barang saja
d. Employment
Pembebanan
tarif mengakibatkan turunnya impor dan menaikkan produksi dalam negeri.
e.
Anti dumping
Pembebanan tarif terhadap
barang yang berasal dari negara yang menjalankan politik dumping supaya tidak
terkena akibat jelek daripada politik tersebut.
2. Yang
secara ekonomis tidak dapat dipertanggungjawabkan
a. To
keep money at home
Pembebanan
tarif impor, maka impor akan berkurang sehingga akan mencegah larinya uang ke
luar negeri.
b. The
low-wage
Negara
yang tingkat upahnya tinggi tidak dapat mengadakan hubungan dengan negara yang
tingkat upahnya rendah tanpa menanggung risiko akan turunnya tingkat upah.
Untuk melindungi para pekerja yang upahnya tinggi dari persaingan para pekerja
yang upahnya rendah maka negara yang tingkat upahnya tinggi tersebut perlu
membebankan tarif bagi barang yang berasal dari negara yang tingkat upahnya
rendah.
c. Home market
3. Yang tidak dapar diuji
atau dibuktikan, karena mengandung premis ekonomi yang salah.
Tarif akan mengakibatkan turunnya atau hilangnya impor dan diganti dengan prosuksi dalam negeri. Kenaikan produksi berarti tambahnya kesempatan kerja yang akhirnya berarti pula kenaikan kegiatan ekonomi.
Tarif akan mengakibatkan turunnya atau hilangnya impor dan diganti dengan prosuksi dalam negeri. Kenaikan produksi berarti tambahnya kesempatan kerja yang akhirnya berarti pula kenaikan kegiatan ekonomi.
Hambatan non-tarif (non-tarif barrier)
adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan
distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional (Dr.
Hamdy Hady).
A.M. Rugman dan R.M.
Hodgetts mengelompokkan hambatan non-tarif (non-tariff barrier)
sebagai berikut :
1. Pembatasan spesifik (specific
limitation) :
a. Larangan impor secara mutlak
b. Pembatasan impor (quota system)
Kuota adalah pembatasan fisik secara
kuantitatif yang dilakukan atas pemasukan barang (kuota impor) dan pengeluaran
barang (kuota ekspor) dari / ke suatu negara untuk melindungi kepentingan
industri dan konsumen.
c. Peraturan atau ketentuan teknis untuk
impor produk tertentu
d. Peraturan kesehatan / karantina
e. Peraturan pertahanan dan keamanan negara
f. Peraturan kebudayaan
g. Perizinan impor (import licence)
h. Embargo
i. Hambatan pemasaran / marketing
2. Peraturan bea cukai (customs
administration rules)
a. Tatalaksana impor tertentu (procedure)
b. Penetapan harga pabean
c. Penetapan forex rate (kurs
valas) dan pengawasan devisa (forex control)
d. Consulate formalities
e. Packaging / labelling regulations
f. Documentation needed
g. Quality and testing standard
h. Pungutan administasi (fees)
i. Tariff classification
3. Partisipasi pemerintah (government
participation)
a. Kebijakan pengadaan pemerintah
b. Subsidi dan insentif ekspor
Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk
memberikan perlindungan atau bantuan kepada indusrti dalam negeri dalam bentuk
keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dll.
c. Countervaling
duties
d. Domestic
assistance programs
e. Trade-diverting
4. Import charges
a. Import
deposits
b. Supplementary
duties
c. Variable
levies
KASUS
Proteksionisme
Dalam Perdagangan Global Studi Kasus: Country of Origin Labelling (COOL)
sebagai Bentuk Proteksionisme Terselubung AS terhadap Kanada
Dalam
orde ekonomi-perdagangan neo-liberal yang berlaku secara global seperti saat
ini, setiap negara seakan diwajibkan mengikuti arus pasar bebas (free trade)
dan keterbukaan pasar (open market) tanpa kecuali.Negara dituntut untuk
membuka pasar domestik seluas-luasnya bagi masuknya produk-produk asing dengan
menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif, kuota, dan
sebagainya, termasuk negara-negara berkembang yang notabene seringkali dianggap
menerapkan kebijakan-kebijakan proteksionisme demi melindungi kepentingan
nasionalnya.Negara-negara maju pun berupaya untuk membuka proteksi yang
diterapkan pemerintah negara-negara berkembang terhadap pasar domestiknya dengan
alasan mendasar bahwa mereka tidak mematuhi prinsip perdagangan bebas. Akan
tetapi, kecenderungan negara-negara maju untuk memonopoli keuntungan dari
perdagangan global pun tak jarang memunculkan kontradiksi, dimana negara maju
justru turut menggunakan kebijakan-kebijakan serupa secara implisit sebagai
instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi
produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor. Mereka seringkali
menggunakan isu-isu non-perdagangan ataupun non-tariff barriers,
salah satunya isu kesehatan.
Salah
satu kasus yang melibatkan isu proteksionisme non-perdagangan ialah Country
of Origin Labelling (COOL) yang melibatkan proteksionisme AS terhadap
Kanada. Sebagai bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada,
AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan
ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dari Kanada yang
dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty)
atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease)
serta virus H1N1 atau swine flu. Upaya Kanada untuk membawa kasus
ini ke dispute settlement body di WTO hingga
Agustus 2013 masih berada dalam proses dan masih berlanjut sampai sekarang.
Inilah salah satu alasan mengapa isu tersebut menarik untuk dikaji lebih
lanjut. Rumusan masalah yang kami ajukan dalam paper ini
yaitu: Mengapa COOL dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme? Bagaimana
hal ini mempengaruhi perdagangan antara AS dan Kanada?
Pembahasan
Isu Proteksionisme sebagai
Isu Penting dalam Perdagangan Internasional
Terbentuknya World
Trade Organization (WTO) pada tahun 1947 sebagai lembaga internasional
yang mengatur perdagangan global diharapkan dapat mewujudkan perdagangan yang
adil dan bebas.Namun dalam perkembangannya, perdagangan global dewasa ini
justru banyak diwarnai oleh isu proteksionisme yang mengganggu kebebasan arus
perdagangan antarnegara. Proteksionisme sendiri dapat diartikan sebagai
kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antarnegara melalui tarif bea
masuk impor (tariff protection), pembatasan kuota atau pemberian subsidi
(non-tariff protection), dan aturan lainnya yang berupaya untuk menekan
impor bahkan aturan ekstrim seperti larangan impor.[1] Kebijakan ini bertujuan untuk
meminimalkan hambatan terhadap produk domestik dari serbuan barang-barang
impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan hampir seluruh negara di
dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru membuka sektor industri
otomotifnya yang kala itu belum dapat bersaing dengan industri serupa di pasar
global.Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan subsidi terhadap industri
ini dengan harapan produk yang dihasilkan lebih laku di pasaran.Contoh lainnya
ialah kebijakan pembatasan kuota yang pernah dilakukan AS di era 1970-an.
Ketika itu terjadi kenaikan harga bahan bakar dan masyarakat AS lebih memilih
membeli mobil berukuran kecil yang notabene merupakan produk dari Jepang dengan
tujuan melakukan penghematan terhadap bahan bakar.Demi kepentingan melindungi
industri otomotif domestiknya, AS mengeluarkan kebijakan proteksionis dengan
menetapkan kuota terhadap jumlah mobil Jepang yang diperbolehkan masuk ke
AS.Meskipun kebijakan ini bertujuan melindungi pasar domestik, tetap saja hal
ini bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas, yakni penghapusan segala
bentuk hambatan yang mengganggu arus perdagangan antarnegara.
Pertentangan
antara perdagangan bebas dan kebijakan proteksionis merupakan masalah yang
kompleks dan rumit untuk diselesaikan.Di satu sisi, perdagangan bebas yang
mendorong terbukanya pasar tidak dapat dipungkiri telah menyebabkan ketimpangan
antara ekspor dan impor, terutama bagi negara-negara berkembang.Pasar domestik
yang dikuasai barang-barang impor berbanding terbalik dengan angka produk yang
berhasil di ekspor. Namun di sisi lain, negara berkewajiban untuk melindungi
dan menyeimbangkan angka impor dan ekspor tadi agar pasar domestiknya tetap
berjalan. Negara seolah dihadapkan pada dilema, apakah harus berjalan searah
dengan perdagangan bebas atau memilih kebijakan proteksionis untuk
menyelamatkan pasar domestiknya.Kebijakan proteksionis dianggap sebagai jalan
keluar sekaligus benteng bagi ekonomi negara yang baru tumbuh.Namun demikian,
proteksionisme juga dapat ditemukan pada negara yang sudah mapan.Kedaulatan
ekonomi nasional tampaknya menjadi justifikasi utama dari proteksionisme.Secara
historis, kasus proteksionisme bahkan lebih sering ditemukan daripada
implementasi perdagangan bebas itu sendiri.[2]
Kebijakan
ini jelas mengganggu sistem perdagangan bebas.Meskipun demikian, proteksionisme
tidak pernah benar-benar dapat dihapuskan.Dalam kurun waktu belakangan, bentuk
proteksionisme baru justru lahir dalam bentuk hambatan non-tarif ditambah
penggunaan isu-isu non-ekonomi seperti kesehatan, lingkungan, perlindungan
buruh, dan sebagainya.Isu-isu ini digunakan untuk mengaburkan tujuan
sebenarnya, yakni melindungi pasar domestik dari serbuan barang impor.Mirisnya,
negara-negara maju menjadi pionir dalam penggunaan isu-isu ini.Kasus terbaru
yang sampai saat ini masih dirundingkan oleh WTO adalah tindakan AS yang
menggunakan Country of Origin Labelling (COOL) dikaitkan
dengan isu kesehatan untuk menghindari produk impor dari Kanada.Produk dari
Kanada khususnya produk livestock hewan ternak (sapi, babi)
dituding AS terkontaminasi penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty)
atau sapi gila serta virus H1N1.Tindakan AS ini tentu saja memberikan kerugian
tersendiri bagi industri Kanada, karena tidak lagi bisa mengimpor produk-produk
mereka ke pasar AS.Ini juga menjadi hambatan bagi terciptanya perdagangan yang
bebas dan adil.
Perdagangan
bebas sebenarnya telah mencapai tahap kulminasi ketika pembentukan WTO sebagai
satu-satunya wadah internasional bagi perdagangan global.Sangat jelas agenda
yang ingin dicapai adalah perdagangan yang bebas tanpa hambatan dan proteksi
yang dianggap merusak dinamika pasar dan kebebasan untuk
berkompetisi.Kemunculan isu-isu proteksionisme ini tentu saja menjadi penting
karena dapat mematikan persaingan dan kebebasan perdagangan antarnegara.
Proteksionisme juga mengakibatkan turunnya pertumbuhan ekonomi secara global[3] dikarenakan setiap negara akan
berlomba-lomba dalam memproteksi pasar domestiknya. Pada tahun 2012 saja
terdapat sedikitnya 123 kebijakan perdagangan baru di seluruh dunia yang
bersifat menghambat dan memperketat perdagangan.[4] Angka tersebut dapat dikatakan cukup
besar dan sangat mungkin memberi pengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi
secara global.
Kebijakan
yang bersifat proteksionis juga memberi dampak bagi konsumen yang dapat
dirugikan karena keterbatasan pilihan yang ada di pasar.[5] Pada akhirnya, kebijakan
proteksionis akan selalu berujung pada fungsinya yang melumpuhkan, memaksakan,
dan mengeksploitasi pihak-pihak lain. Kerugian yang ditimbulkan tidak
hanya akan berdampak pada produsen lokal saja, namun juga konsumen
asing yang akan turut terkena imbas dari kebijakan proteksionis ini. Oleh
karena itu, dibutuhkan peran kuat dari WTO dalam menyelesaikan isu-isu
proteksionis ini agar tidak mengganggu pertumbuhan arus perdagangan global yang
bebas dan adil.
Penggunaan Isu-isu
Non-Perdagangan sebagai Bentuk Proteksionisme Baru
Sengketa
perdagangan antara AS dan Kanada merupakan masalah yang serius dan perlu segera
ditangani agar tidak merusak sistem perdagangan internasional.Ketegangan yang
terjadi antara AS dan Kanada di bidang perdagangan menunjukkan bagaimana
ketegangan antara motif liberal dengan merkantilis terjadi. Di satu sisi
negara-negara menginginkan pasar bebas (free trade) dan keterbukaan
pasar (open market) namun di sisi lain negara tidak bisa menjalankannya
karena mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Upaya AS untuk menghindari
impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging
(terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada menunjukkan bagaimana upaya
negara maju yang menggunakan kebijakan-kebijakan proteksionisme sebagai
instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi
produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor.
Penggunaan
isu-isu non trade-seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan
lingkungan-menunjukkan bagaimana proteksionisme masih dan kemungkinan akan
terus menjadi underlying issues dalam perdagangan antarnegara.
Proteksionisme tidak akan benar-benar hilang karena hal ini sudah menjadi
naluri negara untuk melindungi dirinya. Hambatan perdagangan non tarif bisa
menjadi bentuk proteksionisme yang terselubung yang berusaha dilakukan oleh
negara-negara untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Dalam
kasus Country of Origin Labelling (COOL), kita bisa melihat bentuk
kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada. AS menggunakan
alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan
ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari
Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform
Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad
cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Hal ini
menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa proteksionisme akan selalu terjadi
dalam bentuk-bentuk baru dan akan terus menjadi persoalan, terutama bagi
negara-negara yang semakin menggantungkan pendapatannya pada perdagangan
internasional.[6] Negara-negara akan selalu tergoda
untuk menerapkan regulasi terhadap perdagangan dengan berbagai alasan. Berbagai
alasan yang kini tengah digunakan oleh negara-negara adalah alasan kesehatan,
perlindungan buruh, agama, maupun lingkungan.Dari kasus sengketa AS dan Kanada
ini kita bisa melihat bagaimana upaya AS dalam mengelola perdagangannya secara
tegas untuk melindungi kepentingannya dengan menerapkan standar yang ketat di
bidang kesehatan.
Dalam
sejarahnya, proteksionisme perdagangan pernah merajalela selama Malaise tahun
1930-an. Saat itu, antara tahun 1929 dan 1933, perdagangan di seluruh dunia
berkurang hingga 54% akibat berbagai hambatan perdagangan yang diterapkan oleh
AS dan beberapa negara lainnya. Hal yang serupa terjadi pada tahun 1970-an dan
1980-an. Saat itu proteksionisme perdagangan menjadi semakin sengit. Terdapat
tiga faktor yang bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi.[7] Pertama, proteksionisme
berkembang karena AS tidak bersedia menanggung beban kepemimpinan hegemonik.
Karena untuk membuat sistem perdagangan internasional tetap terbuka, perlu ada
pihak yang bersedia menanggung beban untuk menjamin pemberlakuan aturan main
GATT (sekarang WTO).Jika tidak ada pihak yang menjaminnya, maka sistem pun
tidak berjalan. Kedua, hegemoni politik dan ekonomi AS telah
merosot karena peningkatan pengaruh politik dan ekonomi negara-negara dalam Uni
Eropa, Jepang, dan negara-negara industri baru.[8] Negara-negara Eropa Barat menerapkan
kebijakan perdagangan proteksionis untuk mendukung perekonomian mereka yang
sedang tumbuh. Mereka enggan menerima pasar bebas sebagai acuan dalam praktek
perdagangan. Ketiga, meningkatnya harapan di kelompok-kelompok yang
diuntungkan maupun dirugikan oleh perdagangan.Misalnya pandangan kelompok
merkantilis yang menyatakan bahwa perdagangan harus menjadi isu kebijakan yang
dikelola pemerintah secara tegas dan (jika perlu) secara agresif untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempertahankannya dalam lingkungan ekonomi
internasional.
Pengaturan
sistem perdagangan internasional memang bukan hal yang mudah.Penggunaan isu-isu
seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan menjadikan
perdagangan internasional lebih terkait dengan isu-isu yang dulunya nampak
tidak ada hubungan dengan perdagangan.Isu-isu baru tersebut merepresentasikan
bagaimana isu-isu yang dahulu dianggap tidak ada kaitannya dengan perdagangan
internasional akhirnya menjadi bagian yang wajar dari perdagangan masa kini.
Dahulu, mungkin pemerintah maupun para pelaku bisnis tidak begitu
mempertimbangkan bahwa faktor kesehatan akan begitu berpengaruh terhadap
kegiatan produksi dan perdagangan. Kini, tuntutan akan standar kesehatan pada
produk-produk yang diperdagangkan menjadi cenderung semakin besar. Agar suatu
produk dari negara A dapat masuk ke negara B, produk negara A tersebut harus
memenuhi standar yang diterapkan oleh negara B. Permasalahannya, bisa saja
standar kesehatan yang digunakan oleh negara A dan negara B berbeda. Dibutuhkan
standar umum kesehatan yang bisa ditaati oleh semua negara agar permasalahan
seperti ini tidak muncul kembali.Namun harus digarisbawahi kembali bahwa pengaturan
sistem perdagangan internasional bukan merupakan hal yang mudah.Sama halnya
ketika membentuk standar umum kesehatan secara bersama-sama.Hal ini menjadi
sulit karena melibatkan kepentingan banyak negara.
Country of Origin Labelling (COOL)
sebagai Bentuk Proteksionisme Terselubung AS terhadap Kanada
Country
Of Origin Labeling (COOL) merupakan
sebuah peraturan persyaratan pelabelan yang disahkan oleh hukum
perundang-undangan AS yang mengharuskan para pengecer untuk mencantumkan label
negara asal pada berbagai jenis produk makanan, dengan tujuan memberitahu
pelanggan mereka mengenai informasi sumber makanan
tertentu, seperti daging sapi segar, daging babi dan domba (kecuali produk
olahan). Pada 29 September 2008, badan legislatif AS mengajukan perluasan pada
peraturan COOL dengan menyertakan lebih banyak jenis makanan seperti
buah-buahan segar, kacang-kacangan, dan sayuran.
Semua
ternak yang ada di AS pada atau sebelum 15 Juli 2008, yang tetap berada di
negara ini maka akan dianggap sebagai ternak asal AS. Label “produk Amerika
Serikat” hanya dinyatakan berlaku untuk hewan yang secara khusus lahir,
diternakkan dan dipanen di AS. Terdapat tiga kategori label lainnya, yaitu: Pertama,
untuk hewan yang lahir dan atau diternakkan di negara lain yang kemudian dipanen
di AS dilabeli sebagai produk multi-asal dimana semua negara yang bersangkutan
wajib untuk diidentifikasi terlebih dahulu; Kedua, produk daging
yang diimpor dari negara lain dilabeli sebagai produk negara tersebut; Ketiga,
untuk hewan yang diternakkan di negara lain dan diimpor ke AS untuk segera
dipanen.
Pada
23 Mei 2013, aturan final COOL dikeluarkan dan langsung menjadi efektif hanya
dalam kurun waktu pengenalan selama enam bulan kepada para pengecer sampai
dengan tanggal 23 November 2013. Singkatnya, peraturan baru ini mengeliminasi
pembolehan untuk mencampur potongan urat dari komoditas dengan asal yang
berbeda dan membutuhkan tanda untuk potongan urat daging yang dapat menentukan
negara mana tempat ternak tersebut lahir, diternakkan dan disembelih.
Pada
bulan September 2013, National Grocers Association (NGA) mengirim
sebuah surat kepada United States Department of Agriculture (USDA) yang meminta untuk
menunda penegakan dan kelanjutan
dari masa penyuluhan peraturan COOL yang baru
sampai WTO mencapai keputusan akhir dari pengaduan yang tertunda oleh
Kanada dan Meksiko atas AS. Pada tahun fiskal
2014, USDA akan mengubah kebijakan penegakanCOOL yang
berlaku saat ini.
Pada
23 November 2013, label-label pada beberapa toko kelontong daging akan diminta
untuk menunjukkan dari mana asal daging tersebut. Sementara aturan mengenai hal
ini sedang digugat di pengadilan oleh para pemangku kepentingan industri daging
dan pemerintah Kanada, tentang peraturan COOL yang mewajibkan para pengecer
untuk mengidentifikasi negara tertentu di mana hewan itu lahir, diternakkan dan
disembelih.Aturan pelabelan mencakup pemotongan otot dari daging sapi, ayam,
babi, domba dan kambing, serta yang sementara diproses dan di luar daging
olahan. Uraian lisan mengenai aturan tersebut dijadwalkan akan
digelar pada 9 Januari 2014, bertempat di pengadilan federal. Aturan baru ini
melarang kurangnya spesifikasi atas label campuran asal seperti “Produk dari
Amerika Serikat dan Kanada.”
Pendukung
COOL mengatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk mengetahui darimana daging
segar mereka berasal. Industri daging AS sebagian besar menentang aturan
tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu dapat mengundang sanksi internasional
terhadap perdagangan daging dengan AS, sebagaimana para pelanggan di negara ini
yang mungkin akan menghindari daging yang diternakkan di tempat lain.
Asosiasi
ternak dan daging baik di AS dan Kanada sama-sama menolak untuk mencantumkan
langkah produksi pada label, khususnya dimana hewan tersebut lahir, diternakkan
dan disembelih. Informasi sejenis itu menurut mereka akan membatasi atau justru
mengeliminasi praktek perluasan industri dalam hal pencampuran produk, yang
malah memisahkan ternak dan produk dari seluruh penyedia pasokan. Akibatnya,
mereka berkata, COOL sebagaimana yang tengah diimplementasikan membuat berbagai
perusahaan, pabrik dan produsen, beresiko akan keluar dari bisnis ini. Fasilitas
pengolahandaging di perbatasan AS-Kanada akan berada
pada posisi yang kurang menguntungkan karena ternak tidak
lagi bergerak bebas dari satu negara ke negara lain. The
American Association of Meat Processors, American Meat Institute (AMI),
Canadian Cattlemen’s Association, Canadian Pork Council, National Cattlemen’s
Beef Association, National Pork Producers Council, North American Meat
Association, and Southwest Meat Association, kemudian mengajukan tindakan
peradilan.
Selain
melontarkan argumen secara konstitusional, para kelompok pengusaha ternak dan
daging berpendapat bahwa COOL telah melanggar prosedur administrasi dengan
memilih pemenang dan yang kalah di pasaran, yang secara
fundamental mengubahindustri daging menjadi tidak
bermanfaat.Sementara itu, tuntutan hukum
federalberpendapat bahwa aturan COOL telah melanggar UU Pemasaran Pertanian dengan
melampaui bahasa yang terdapat
dalam undang-undang COOL.Para kelompok pengusahadaging
dan ternak mengajukan
kepada Kongres, tepatnya menolak "keterbukaan yang
terlalu detail."
Setelah
aturan baru diberlakukan, Kanada mengatakan bahwa hal itu
melanggarperjanjian perdagangan dan mengajukan banding atas
aturan COOL milik USDA denganWTO. Pada tahun
2011, WTO memutuskan untuk
mendukung mereka dan badan bandingmenguatkan temuan
tersebut pada tahun 2012.WTO kemudian meminta AS untuk selalu mematuhi
peraturan tersebut pada 23 Mei 2013. Organisasi daging dan
hewan ternakmengatakan bahwa aturan USDA yang diberlakukan pada Mei
2013 adalah "sangat mirip" adanya dengan aturan
aslinya di 2003.
Upaya WTO dalam Menangani
Perselisihan Antarnegara terkait Proteksionisme Bentuk Baru
Seperti
yang telah dijelaskan dalam pemaparan sebelumnya, efek yang diakibatkan oleh
proteksionisme terselubung ini mengakibatkan banyak kerugian. Masalah
proteksionisme terselubung ini memang merupakan sebuah dilema bagi suatu
negara, karena disamping dituntut keprofesionalannya dalam memenuhi kesepakatan
internasional, tapi tekanan kebijakan politik domestik terus memicu bentuk baru
dari proteksionisme, inilah yang disebut oleh Jagdish Bhagwati (1988) dengan
hukum kekekalan proteksionisme (Law of Constant Protectionism).[9] Akan tetapi jika terdapat kerugian
yang besar dan disadari oleh negara partner dagangnya maka masalah ini perlu
segera diselesaikan. Itulah sebabnya pada Desember 2008 dan Juli 2009, Kanada
dan Meksiko menginisiasi pertemuan dengan AS terkait isu COOL ini. Namun, hasil
yang didapatkan dari pertemuan tersebut masih jauh dari harapan, sehingga pada
Oktober 2009, Kanada dan Meksiko membawa masalah ini ke WTO, mengharapkan
terbentuknya suatu panel penyelesaian masalah (dispute settlement panel)
guna menangani masalah ini. Sebenarnya AS sangat menyesalkan keputusan yang
diambil oleh Kanada dan Meksiko dengan melibatkan WTO dalam masalah mereka,
padahal menurut AS, adanya pelabelan asal barang itu telah ada jauh sebelum WTO
sendiri terbentuk. Sedangkan Kanada dan Meksiko bersikeras bahwa AS telah
melanggar Kesepakatan Umum dalam Tarif dan Perdagangan (GATT) tahun 1994 yang
menyatakan bahwa produk impor seharusnya tidak dibedakan dengan produk lokal.
Kemudian pada 19 November 2009 dibentuklah Badan Penyelesaian Masalah atau Dispute
Settlement Body (DSB).
Perlu
waktu tiga tahun, tepatnya pada 18 November 2011, untuk panel bentukan WTO
merumuskan bahwa AS bersalah karena telah melanggar dua artikel dari
kesepakatan WTO pada Teknis Pembatasan dalam Perdagangan (TBT) dan ketentuan
dasar GATT. Secara lebih rinci, pelanggaran ini dilakukan pada artikel 2.1
dalam TBT yang mengatur larangan memperlakukan produk asing secara timpang
dibandingkan dengan produk lokal. Artikel kedua yang dilanggar adalah artikel
2.2, karena AS tidak dapat memberikan legitimasi atas tujuannya memberikan
label pada produk daging. AS sendiri sebenarnya memiliki beberapa alternatif
untuk menjawab temuan DSB tersebut. Antara lain dengan mengubah susunan
komposisi keterangan yang disertakan dalam sistem COOLnya atau menyajikan pada
panel laporan yang mendukung pentingnya COOL.
Kemudian
pada 23 Juli 2012, DSB menindaklanjuti laporan dari DS tersebut.Namun, meskipun
terbukti bersalah, DSB tidak menginformasikan secara spesifik hal-hal yang
seharusnya dilakukan oleh AS sebagai bentuk pertanggungjawabannya.Jadi bukan
hal yang mengherankan jika setelah keputusan diambil, masih memerlukan waktu
yang lama bagi AS untuk memenuhi tuntutan WTO. Walaupun sebenarnya WTO sudah
punya sistem yang mengharuskan negara yang terbukti melanggar kesepakatan
bersama untuk menindaklanjuti laporan tersebut dalam waktu yang umumnya satu
tahun, tapi AS ingin agar diberikan waktu 18 bulan untuk menyelesaikannya,
sedangkan Kanada dan Meksiko menganggap 6 bulan cukup bagi AS untuk menerapkan
perubahan pada sistemnya. Sehingga WTO pun harus turun tangan dengan menetapkan
waktu 10 bulan maksimal bagi AS untuk bertindak. Jika dalam tenggat waktu yang
telah ditentukan AS gagal memenuhi perubahan yang diharapkan, maka Kanada dan
Meksiko akan memperoleh keistimewaan dari WTO untuk melakukan retaliasi dengan
cara menarik investasinya dari AS ataupun menetapkan tarif impor yang tinggi
bagi AS.
Tenggat
waktu yang diberikan sampai tanggal 23 Mei 2013 telah berakhir dan AS pun telah
memodifikasi aturan COOL-nya, namun rupanya Kanada dan Meksiko masih belum puas
dengan perubahan yang dilakukan oleh AS. Mereka menganggap tidak ada perubahan
signifikan sehingga memutuskan untuk membuat laporan baru bagi DSB untuk
meninjau ulang hasil amandemen COOL yang dilakukan oleh AS pada 19 Agustus
2013.[10] Apabila kemudian AS memang terbukti
belum secara sempurna mengubah aturan COOL-nya sesuai dengan yang diamanatkan
oleh WTO sesuai dengan tenggat waktu yang telah disepakati tersebut, maka
Kanada dan Meksiko akan mempunyai hak legal untuk melakukan retaliasi
proteksionisme kepada AS.
Kesimpulan
COOL
dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme AS terhadap Kanada karena
mengimplementasikan hambatan-hambatan non-perdagangan (non-trade barriers)
yang secara simultan diterapkan oleh AS untuk menghindari impor produk livestock dari
Kanada. Hal ini tentu mempengaruhi hubungan perdagangan antara kedua negara
tersebut karena memicu friksi perdagangan melalui tuntutan-tuntutan sebagai
bentuk protes akan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perdagangan bebas yang
semestinya selalu diusung dalam orde perdagangan global yang neo-liberal
seperti saat ini.
Sumber :
Diakses :
2 April 2015
Pukul 10.00 WIB
No comments:
Post a Comment