Saturday, 24 October 2015

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL




KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Berguna ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Soekotjo  selaku Dosen mata kuliah Hukum Humaniter Internasional Universitas Diponegoro yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai perkembangan dari sejarah hukum humaniter internasional. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun demi kebaikan di masa yang akan datang.
       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.


Semarang, 12 April 2015


Penyusun












DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………………….…. i
Daftar isi ……………………………………………………………………………….… ii
BAB 1
Pendahuluan ………………………………………………………………………….……1
BAB II
Pembahasan
1.      Pengertian Hukum Humaniter ..……………………………………………..…….2
2.      Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter ………..…………………………….............4
3.        Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter dari The Sumerrians sampai
dengan Hague Convention 1949 ………………………………………………….8

BAB III
Kesimpulan …………………………………………………………………………..….12
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….……….... 13










BAB I
PENDAHULUAN

            Hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan perang itu sendiri yang biasa dulu disebut Hukum Humaniter Internasional. Pada abad ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.







BAB II
PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN HUKUM HUMANITER
Istilah hukum humaniter istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-andengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in ArmedConflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukuminternasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:
·         Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legalprovision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his wellbeing.
·         Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuanperlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
·         Panitia Tetap hukum humaniter, Departemen hukum dan perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.” Dengan demikian bahwa hukum humaniter merupakan instrument dari ketentuan, asas dan kaedah internasional yang dapat menjamin hak asasi manusia.



Menurut Haryomataram, ia membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :
1.      Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);
2.      Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa. Pada tahun 1982, Pantap Hukum Humaniter Departemen Kehakiman memberi makna hukum humaniter dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang sengketa bersenjata, sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1948. Dalam arti luas hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang.
Di dalam buku Pengantar Hukum Humaniter, Arlina Permanasari menjelaskan bahwa ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Menurut Jean Pictet pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Dari aliran-aliran tersebut bahwa hukum humaniter merupakan hukum-hukum yang menjamin akan harkat dan martabat seseorang dan dapat merubah derajat seseorang.





2.      SEJARAH LAHIRNYA HUKUM HUMANITER
Hukum Humaniter Internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Tahapan-tahapan perkembangan hukum perkembangan hukum humaniter sebagai berikut:
A.    Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata seperti ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh mereka yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleeh Pictet, antara lain sebagai berikut:
1.      Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.
2.      Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.
3.      Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota dimana penduduk-penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai dan dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, dan dengan kekejaman.
4.      Di India, sebagaiamana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

B.     Abad Pertengahan
Pada Abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al-Quran Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat al Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan keemungkinan. Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

C.     Zaman Modern
Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum pernghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian palang merah internasional di medan perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama. Konvensi Jenwa untuk perbaikan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit di medan pertempuran Solferino. B uku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “societe d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan “comite international et permanent de secours aux militaries blesses”.
 Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan  sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir  mereka”.
 Pada tahun 1894, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleeh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi internasional yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi 1864, yaitu konvensi untuk perbaikan keadaan yang luka di medan perang darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang.
Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka personil kesehatan bersifat netral dengan perlindungan korban perang, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa owang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863. Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber (Instruction for Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrumen-instrumen panjang dengan serba lengkat dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya.
Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritasa negara-negara setelah tahun 1850.



















3.        Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter dari The Sumerrians sampai dengan Hague Convention 1949
Sejarah perkembangan hukum humaniter tersusun atas berbagai lembaga hukum dan aturan hukum yang berkaitan dengan hukum perang atau sekarang yang lebih dikenal dengan hukum humaniter. Usaha menafsirkan sejarah perkembangan hukum humaniter berarti suatu upaya menginterpretasikan lebih lanjut mengenai wawasan kita terhadap persoalan masa lalu yang mempengaruhi perkembangan hukum perang. Sejarah hukum perang demikian penting sebagai upaya manusia memahami perkembangan lembaga-lembaga hukum yang menguasai kehidupan manusia di masa lalu untuk lebih dapat memahami hukum yang berlaku sekarang.( Nugroho Notosusanto , hakikat Sejarah serta asas dan metode sejarah). Mengkaji sejarah berarti mengkaji kehidupan masa lalu yang lebih bagi masa sekarang (Zurcher Arnold J, 1951, Constitutions and constitutional trends since world war II , New York University Press).
Menurut Friedman dikatakan bahwa perang adalah suatu perkembangan sejarah panjang yang pada tahap awalnya hanya memiliki kesamaan dalam taraf yang kecil dengan international humanitarian law. Dari abad pertengahan sampai kepada abad ke 17 diskusi-diskusi mengenai perang didominasi oleh pertimbangan teleologis sedangkan pengkodifikasian belum terjadi sebelum abad ke 19. Hukum perang tertua adalah The Summerians yang dipandang sebagai perang yang dilakukan negara yang diawali dengan pernyataan perang dan diakhiri dengan perjanjian damai. Menurut Singh (Swinarski,1984:531) dikatakan bahwa perang yang menganut tindakan sengketa telah diorganisasikan dalam banyak sekali kebudayaan dikatakan olehnya :
“ The law regulating the conduct of hostilities were recognized in many early cultures. theory that humanitarian is essentially “Eurocentric” is in reality more a criticism of most literature on the subject than a reflection of historical fact.”
Bahkan hukum perang pun dapat ditemui dalam berbagai literature keagaamaan, seperti dikatakan Khadurri : “Islam is also acknowledge the essential requirement of humanity. In his order to his commanders, the first caliph, Abu Bakar Stipulated for instance the following : The Blood of women, children and old people shall not stain your victory. Do not destroy a palm tree, nore burns houses and cornfield with fire and do not cut any fruitful tree, You must not slay any flocks or herds, save your subsistence.”
Hal ini menunjukan bahwa prinsip-prinsip humaniter telah dikenal oleh Agama Islam bahkan menurut Khadduri dalam The law of war and Peace in Islam (1955) dikatakan bahwa: “Several studies have now shown that many of the central principles of humanitarian law were deeply rooted in Islamic tradition, Although Salladin was unusual amongst both muslim and Christian during the crusaders in his humane treatment of prisoners and the wounded, he was by no means alone in regarding warfare as subject of principle to law. These centuries after saladin, the Turkish Sultan Mehmet extended to the population of Constantinople a greater degree of mercy than might have been expected given the city had been taken by storm.”
Dalam literature Kristen dapatlah diketahui misalnya melalui St. Agustine yang mengespoused beberapa prinsip yang sangat keras menyangkut perlindungan terhadap wanita, anak-anak dan penegakan atas tersedianya tempat yang damai menghasilkan suatu pemikiran mengenai hak kekebalan atau hak untuk mengungsi. Menurut St. Agustine keterlibatan kaum Kristiani untuk terlibat dalam perang yang adil dan maksud yang benar dimungkinkan (Russel,The Just war in middle ages,1975).
Dalam tulisannya yang berjudul De iure belli ac pacis tahun 1625 Hugo Goritus menyiratkan perilaku dalam berperang. Pada abad ke 18 pendapat Rousseau adalah sebuah landmark bagi pembangunan hukum humaniter dinyatakan olehnya bahwa diakui suatu prinsip bagi tujuan penggunaan kekerasan untuk mengalahkan Negara lawan dan tindakan-tindakan yang membuat musuh tidak dapat bertahan, pembedaan antara combatan dan cilivilians diperlukan dan harus diperlakukan secara humanis. Dari sinilah pilar hukum humaniter modern dimulai. Pada abad ke 19 telah ditunjukan bahwa praktek pada abad 18 akhir telah diterima sebagai sesuatu yang praktis. Sejumlah besar perjanjian internasional beberapa diantaranya diadopsikan, kodifikasi beberapa dari aturan hukum kebiasaan dalam berperang. Insiatif tersebut terlihat dari organisasi privat internasional ICRC (International Commite of the Red Cross), yang telah memainkan peranan sentral dalam pembangunan dan penerapan hukum humaniter (Wolfrum, United Nations : law, Policies and Practice,1995:814). Pada tahun 1861 seorang professor dari Jerman telah mempersiapkan suatu manual yang berdasarkan hukum internasional yang dikenal dengan Lieber Code. Lieber Code berisi 10 section (Schindler,1981:3) dimana tiap section mengatur secara khusus bagian-bagian yang menyangkut perilaku berperang dan perlindungan bagi korban perang. Isi dari Lieber Code tersebut berturut-turut adalah :
·         Section I Martial law-military jurisdiction-military necessity
·         Section II Public and private property of the enemy, protection of persons, religion, art and sciences, punishment of crimes
·         section III Deserters- Prisoners of war, hostages, booty on the battlefield.
·         Section IV Partisants- armed enemies not belonging to the hostile army
·         Section V Safe conduct , spies, war traitors, captured messenger, abuce of the flag of truce
·         Section VI Exchange of prisoners-Flags of truce-flags of protection
·         Section VII The Parole
·         Section VIII Armistis-Capitulation
·         Section IX Assasination
·         Section X Inssurrection –civil war- Rebellion
Lieber code dikenal sebagai the origin of what has come to known as Hague Law.Melalui beberapa pengaturan yang terbagi kedalam section-section tersebut telah ditunjukan bahwa Lieber code adalah sebuah pandangan filosofis seperti misalnya sipil tidak bersenjata harus dihormati. Melalui inspirasi dari Lieber code menurut Schindler dilakukanlah Brussels Declaration dengan inisiatif yang berasal dari Rusia.Deklarasi itu sendiri memiliki banyak kesamaan degan The Oxford manual 1880, walaupun keduanya bukanlah suatu ketentuan yang mengikat namun demikian banyak ketentuan dalam hukum perang yang mengacu kepada keduanya.
Pada tahun 1907 Hague Convention mengikat tidak hanya bagi para pihak tetapi telah secara luas dikenal sebagai suatu hukum kebiasaaan internasional. Beberapa dokumen yang terkait dengan Hague Convention tersebut adalah :
·         Hague Convention III Concerning the Opening of Hostilities
·         Hague convention IV concerning the laws ad customs of war on land and annex to the convention:Regulations concerning the laws and custom of war and land.
·         Hague Convention V concerning the rights and duties of neutral powers and person in case of war on land
·         Hague Convention VI Concerning the status of enemy merchant ships at the outbreak of hostilities.
·         Hague Convention VII concerning the conversion of merchanc ships into warships
·         Hgue Convention VIII concerning the laying of automatic submarine contact mines
·         Hague Conventions IX concerning the bombarmendt by naval force in timies of war
·         Hague Convention XI concerning certain restriction with regard to the exercise of the right of capture in naval war.
Pada tahun 1923 The Hague Rules Of Aerial Warfare (HRAW 1923) diformulasikan berikut peraturan mengenai radio komunikasi dalam perang. HRAW ini mrmiliki arti penting dalam mencapai keseimbangan antara kepentingan militer dan perlindungan rakyat sipil (Spaight,Air power and war rights 3rd,1947).
Pada tahun 1929 convention for the amelioration of the condition of the wounded and sick armies in the field and the convention relative to the treatment of prisoner of war ditandatanganidi Genewa. menurut Baxter dalam United States v vonleeb 15, annual digest dikemukakan bahwa : “The 1929 Geneve conventions were influenced by the experience of world war I and contained more detailed regulations for the treatment of the wounded and prisoners of war than their predecessors.”
Konvensi genewa tahun 1929 lebih memfokuskan diri kepada para pihak dalam perang yang terluka dan juga termasuk didalamnya para tawanan perang. Pada tahun 1949 Konvensi Genewa telah mencapai paritispiasi pada level yang lebih universal. Pada tahun 1949 terdapat dua konvensi yaitu Geneva Convention I for the amelioration of the wounded , sick and shipwrecked embers of armed forces at sea dan Geneva convention III concerning the treatment of prisoners of war.











BAB III
KESIMPULAN

Hukum Humaniter Internasional dibentuk bukan melarang terjadinya perang, namun membentuk aturan bagaimana selama perang terjadi sebagai pilihan terakhir agar tidak terjadi kerusakan yang berlebihan di segala aspek baik fisik maupun psikis, yang pada dasarnya imbas dari akibat perang itu sendiri adalah rakyat sipil. Dengan adanya perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang membentuk berbagai konvensi merupakan wujud dari kesadaran memahami buruknya efek sebuah perang.

























DAFTAR PUSTAKA

Frits Kalshoven. Constraint on the Waging of War. ICRC. 1991.
Mochtar Kusumaatmadja. Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia. 1980.
Jean Pictet. Development and Principles of International Humanitarian Law. Martinus Nijhoff Publisher: 1985.
Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi. Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional. IKIP Malang: 1995.
id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_kemanusiaan_internasional

http://usupress.usu.ac.id/files/Pengantar%20Hukum%20Humaniter%20InternasionalNormal_bab%201.pdf

No comments:

Post a Comment