SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter
Berguna ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak Soekotjo
selaku Dosen mata kuliah Hukum Humaniter Internasional Universitas
Diponegoro yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat
berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai perkembangan dari sejarah hukum humaniter
internasional. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun demi kebaikan di masa yang akan datang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Semarang, 12 April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………….…. i
Daftar isi
……………………………………………………………………………….… ii
BAB 1
Pendahuluan ………………………………………………………………………….……1
BAB II
Pembahasan
1. Pengertian Hukum Humaniter ..……………………………………………..…….2
2. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter
………..…………………………….............4
3.
Sejarah Perkembangan Hukum
Humaniter dari The Sumerrians sampai
dengan Hague Convention 1949 ………………………………………………….8
BAB III
Kesimpulan
…………………………………………………………………………..….12
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….……….... 13
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum
perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan perang itu sendiri yang biasa dulu disebut Hukum Humaniter
Internasional. Pada abad ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The
Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada
moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter
Internasional. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam
aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi
kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri
kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di
dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil
(just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil,
anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan
perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional
dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di
seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai
pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun
aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas
peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan
antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara.
Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara
di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum
humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional
diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
HUKUM HUMANITER
Istilah hukum humaniter istilah hukum
humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable
in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang
(laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum
sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada
akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah hukum
humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional
merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir
sekitar tahun 1970-andengan diadakannya Conference of Government
Expert on the Reaffirmation and Development in ArmedConflict pada
tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukuminternasional,
maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:
·
Jean Pictet : “International humanitarian law
in the wide sense is constitutional legalprovision, whether written and
customary, ensuring respect for individual and his wellbeing.”
·
Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang
mengatur ketentuan-ketentuanperlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang
yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut
cara melakukan perang itu sendiri.”
·
Panitia Tetap hukum
humaniter, Departemen hukum dan perundang-undangan
merumuskan sebagai berikut : “Hukum
humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis, yang
mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan
untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan
martabat seseorang.” Dengan demikian bahwa hukum humaniter
merupakan instrument dari ketentuan, asas dan kaedah internasional yang dapat
menjamin hak asasi manusia.
Menurut Haryomataram, ia membagi hukum humaniter
menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :
1. Hukum yang
mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den
Haag/The Hague Laws);
2. Hukum yang
mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat
perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter
internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan
hukum Jenewa. Pada tahun 1982, Pantap Hukum Humaniter Departemen Kehakiman
memberi makna hukum humaniter dalam arti sempit dan luas. Dalam arti
sempit hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan
hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang sengketa bersenjata,
sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1948. Dalam arti luas hukum
humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum internasional,
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi
manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
pribadi seseorang.
Di dalam buku Pengantar Hukum Humaniter,
Arlina Permanasari menjelaskan bahwa ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan
dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit.
Menurut Jean Pictet pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas,
yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak
Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana
menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan
Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter
terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Dari aliran-aliran tersebut bahwa
hukum humaniter merupakan hukum-hukum yang menjamin akan harkat dan martabat
seseorang dan dapat merubah derajat seseorang.
2. SEJARAH LAHIRNYA HUKUM HUMANITER
Hukum Humaniter Internasional telah mengalami
perkembangan yang sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang
tersebut telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang.
Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada
orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari
pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Tahapan-tahapan perkembangan hukum
perkembangan hukum humaniter sebagai berikut:
A.
Zaman Kuno
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi
peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung
panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan
terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata seperti ini
sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang
ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer
memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh mereka yang tertangkap,
memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada
waktu penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat
untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Selain itu, dalam berbagai
peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan sebelum Masehi
upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleeh Pictet,
antara lain sebagai berikut:
1. Diantara
bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini
ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase,
kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.
2. Kebudayaan
Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang
menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan
perlindungan kepada musuh, juga perintah untuk merawat yang sakit dan
menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, “anda juga harus
memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh
diganggu.
3. Dalam
kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat
manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas.
Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang
menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota dimana
penduduk-penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini
merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai
dan dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang
menang, dan dengan kekejaman.
4. Di India,
sebagaiamana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang
Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka
harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan
sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan api dilarang, penyitaan hak
milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur,
dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.
B.
Abad Pertengahan
Pada Abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama
Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just
war), ajaran Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al-Quran
Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat al Taubah ayat 5, dan
surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan
menghapuskan keemungkinan. Adapun prinsip ksatriaan
yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang
pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.
C.
Zaman Modern
Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang
sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh
tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan
membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa
bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa
perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin
berkepentingan dalam prinsip umum pernghormatan manusia. Kecenderungan umum ini
diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian palang merah internasional
di medan perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang
perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan
perlakuan yang sama. Konvensi Jenwa untuk perbaikan anggota angkatan perang
yang luka dan sakit di medan pertempuran darat, mempunyai sejarah yang tertua.
Konvensi 1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu
itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan
pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul
“Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan
prajurit yang sakit di medan pertempuran Solferino. B uku ini sangat menggugah
penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “societe
d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia
yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan
yang dinamakan “comite international et permanent de secours aux militaries
blesses”.
Panitia yang
terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk
mengadakan sebuah konferensi
internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan
kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri oleh
16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam
bulan Oktober 1963. Karena merupakan konferensi yang tidak resmi, konferensi
tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta.
Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada
resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam
pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”.
Pada tahun
1894, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu
konferensi internasional yang dihadiri oleeh wakil-wakil berkuasa penuh dari
negara-negara yang mengikuti konferensi internasional yang mengikuti konferensi
sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan
Konvensi Jenewa 1864. Konvensi 1864, yaitu konvensi untuk perbaikan keadaan
yang luka di medan perang darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang
mengawali konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban
perang.
Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan
ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka personil kesehatan
bersifat netral dengan perlindungan korban perang, tidak boleh diserang dan
tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk
setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik
kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum konvensi memperkenalkan tanda Palang
Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang
sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang
didirikan oleh beberapa owang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.
Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber (Instruction for
Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang
mencantumkan instrumen-instrumen panjang dengan serba lengkat dari semua hukum
dan kebiasaan perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu
yang tak begitu jelas sebelumnya.
Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua
tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk
sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan
perang, orang yang luka, dsb. Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa
sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini
perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan
melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritasa negara-negara
setelah tahun 1850.
3.
Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter dari The
Sumerrians sampai dengan Hague Convention 1949
Sejarah perkembangan hukum humaniter tersusun atas
berbagai lembaga hukum dan aturan hukum yang berkaitan dengan hukum perang atau
sekarang yang lebih dikenal dengan hukum humaniter. Usaha menafsirkan sejarah
perkembangan hukum humaniter berarti suatu upaya menginterpretasikan lebih
lanjut mengenai wawasan kita terhadap persoalan masa lalu yang mempengaruhi
perkembangan hukum perang. Sejarah hukum perang demikian penting sebagai upaya
manusia memahami perkembangan lembaga-lembaga hukum yang menguasai kehidupan
manusia di masa lalu untuk lebih dapat memahami hukum yang berlaku sekarang.(
Nugroho Notosusanto , hakikat Sejarah serta asas dan metode sejarah). Mengkaji
sejarah berarti mengkaji kehidupan masa lalu yang lebih bagi masa sekarang
(Zurcher Arnold J, 1951, Constitutions and constitutional trends since world
war II , New York University Press).
Menurut Friedman dikatakan bahwa perang adalah suatu
perkembangan sejarah panjang yang pada tahap awalnya hanya memiliki kesamaan
dalam taraf yang kecil dengan international humanitarian law. Dari abad
pertengahan sampai kepada abad ke 17 diskusi-diskusi mengenai perang didominasi
oleh pertimbangan teleologis sedangkan pengkodifikasian belum terjadi sebelum
abad ke 19. Hukum perang tertua adalah The Summerians yang dipandang sebagai
perang yang dilakukan negara yang diawali dengan pernyataan perang dan diakhiri
dengan perjanjian damai. Menurut Singh (Swinarski,1984:531) dikatakan bahwa
perang yang menganut tindakan sengketa telah diorganisasikan dalam banyak
sekali kebudayaan dikatakan olehnya :
“ The law regulating the conduct of hostilities were recognized in many early cultures. theory that humanitarian is essentially “Eurocentric” is in reality more a criticism of most literature on the subject than a reflection of historical fact.”
“ The law regulating the conduct of hostilities were recognized in many early cultures. theory that humanitarian is essentially “Eurocentric” is in reality more a criticism of most literature on the subject than a reflection of historical fact.”
Bahkan hukum perang pun dapat ditemui dalam berbagai
literature keagaamaan, seperti dikatakan Khadurri : “Islam is also acknowledge
the essential requirement of humanity. In his order to his commanders, the
first caliph, Abu Bakar Stipulated for instance the following : The Blood of
women, children and old people shall not stain your victory. Do not destroy a
palm tree, nore burns houses and cornfield with fire and do not cut any
fruitful tree, You must not slay any flocks or herds, save your subsistence.”
Hal ini menunjukan bahwa prinsip-prinsip humaniter
telah dikenal oleh Agama Islam bahkan menurut Khadduri dalam The law of war and
Peace in Islam (1955) dikatakan bahwa: “Several studies have now shown that
many of the central principles of humanitarian law were deeply rooted in
Islamic tradition, Although Salladin was unusual amongst both muslim and
Christian during the crusaders in his humane treatment of prisoners and the
wounded, he was by no means alone in regarding warfare as subject of principle
to law. These centuries after saladin, the Turkish Sultan Mehmet extended to
the population of Constantinople a greater degree of mercy than might have been
expected given the city had been taken by storm.”
Dalam literature Kristen dapatlah diketahui misalnya
melalui St. Agustine yang mengespoused beberapa prinsip yang sangat keras
menyangkut perlindungan terhadap wanita, anak-anak dan penegakan atas tersedianya
tempat yang damai menghasilkan suatu pemikiran mengenai hak kekebalan atau hak
untuk mengungsi. Menurut St. Agustine keterlibatan kaum Kristiani untuk
terlibat dalam perang yang adil dan maksud yang benar dimungkinkan (Russel,The
Just war in middle ages,1975).
Dalam tulisannya yang berjudul De iure belli ac pacis
tahun 1625 Hugo Goritus menyiratkan perilaku dalam berperang. Pada abad ke 18
pendapat Rousseau adalah sebuah landmark bagi pembangunan hukum humaniter
dinyatakan olehnya bahwa diakui suatu prinsip bagi tujuan penggunaan kekerasan
untuk mengalahkan Negara lawan dan tindakan-tindakan yang membuat musuh tidak
dapat bertahan, pembedaan antara combatan dan cilivilians diperlukan dan harus
diperlakukan secara humanis. Dari sinilah pilar hukum humaniter modern dimulai.
Pada abad ke 19 telah ditunjukan bahwa praktek pada abad 18 akhir telah
diterima sebagai sesuatu yang praktis. Sejumlah besar perjanjian internasional
beberapa diantaranya diadopsikan, kodifikasi beberapa dari aturan hukum
kebiasaan dalam berperang. Insiatif tersebut terlihat dari organisasi privat
internasional ICRC (International Commite of the Red Cross), yang telah
memainkan peranan sentral dalam pembangunan dan penerapan hukum humaniter
(Wolfrum, United Nations : law, Policies and Practice,1995:814). Pada tahun
1861 seorang professor dari Jerman telah mempersiapkan suatu manual yang
berdasarkan hukum internasional yang dikenal dengan Lieber Code. Lieber Code
berisi 10 section (Schindler,1981:3) dimana tiap section mengatur secara khusus
bagian-bagian yang menyangkut perilaku berperang dan perlindungan bagi korban
perang. Isi dari Lieber Code tersebut berturut-turut adalah :
·
Section I Martial law-military jurisdiction-military
necessity
·
Section II Public and private property of the enemy,
protection of persons, religion, art and sciences, punishment of crimes
·
section III Deserters- Prisoners of war, hostages,
booty on the battlefield.
·
Section IV Partisants- armed enemies not belonging to
the hostile army
·
Section V Safe conduct , spies, war traitors, captured
messenger, abuce of the flag of truce
·
Section VI Exchange of prisoners-Flags of truce-flags
of protection
·
Section VII The Parole
·
Section VIII Armistis-Capitulation
·
Section IX Assasination
·
Section X Inssurrection –civil war- Rebellion
Lieber code dikenal sebagai the origin of what has
come to known as Hague Law.Melalui beberapa pengaturan yang terbagi kedalam
section-section tersebut telah ditunjukan bahwa Lieber code adalah sebuah
pandangan filosofis seperti misalnya sipil tidak bersenjata harus dihormati.
Melalui inspirasi dari Lieber code menurut Schindler dilakukanlah Brussels
Declaration dengan inisiatif yang berasal dari Rusia.Deklarasi itu sendiri
memiliki banyak kesamaan degan The Oxford manual 1880, walaupun keduanya bukanlah
suatu ketentuan yang mengikat namun demikian banyak ketentuan dalam hukum
perang yang mengacu kepada keduanya.
Pada tahun 1907 Hague Convention mengikat tidak hanya
bagi para pihak tetapi telah secara luas dikenal sebagai suatu hukum kebiasaaan
internasional. Beberapa dokumen yang terkait dengan Hague Convention tersebut
adalah :
·
Hague Convention III Concerning the Opening of
Hostilities
·
Hague convention IV concerning the laws ad customs of
war on land and annex to the convention:Regulations concerning the laws and
custom of war and land.
·
Hague Convention V concerning the rights and duties of
neutral powers and person in case of war on land
·
Hague Convention VI Concerning the status of enemy
merchant ships at the outbreak of hostilities.
·
Hague Convention VII concerning the conversion of
merchanc ships into warships
·
Hgue Convention VIII concerning the laying of automatic
submarine contact mines
·
Hague Conventions IX concerning the bombarmendt by
naval force in timies of war
·
Hague Convention XI concerning certain restriction
with regard to the exercise of the right of capture in naval war.
Pada tahun
1923 The Hague Rules Of Aerial Warfare (HRAW 1923) diformulasikan berikut
peraturan mengenai radio komunikasi dalam perang. HRAW ini mrmiliki arti
penting dalam mencapai keseimbangan antara kepentingan militer dan perlindungan
rakyat sipil (Spaight,Air power and war rights 3rd,1947).
Pada tahun
1929 convention for the amelioration of the condition of the wounded and sick
armies in the field and the convention relative to the treatment of prisoner of
war ditandatanganidi Genewa. menurut Baxter dalam United States v vonleeb 15,
annual digest dikemukakan bahwa : “The 1929 Geneve conventions were influenced
by the experience of world war I and contained more detailed regulations for
the treatment of the wounded and prisoners of war than their predecessors.”
Konvensi
genewa tahun 1929 lebih memfokuskan diri kepada para pihak dalam perang yang
terluka dan juga termasuk didalamnya para tawanan perang. Pada tahun 1949 Konvensi
Genewa telah mencapai paritispiasi pada level yang lebih universal. Pada tahun
1949 terdapat dua konvensi yaitu Geneva Convention I for the amelioration of
the wounded , sick and shipwrecked embers of armed forces at sea dan Geneva
convention III concerning the treatment of prisoners of war.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum
Humaniter Internasional dibentuk bukan melarang terjadinya perang, namun
membentuk aturan bagaimana selama perang terjadi sebagai pilihan terakhir agar
tidak terjadi kerusakan yang berlebihan di segala aspek baik fisik maupun
psikis, yang pada dasarnya imbas dari akibat perang itu sendiri adalah rakyat
sipil. Dengan adanya perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang membentuk
berbagai konvensi merupakan wujud dari kesadaran memahami buruknya efek sebuah
perang.
DAFTAR PUSTAKA
Frits Kalshoven. Constraint on the Waging of War.
ICRC. 1991.
Mochtar Kusumaatmadja. Hukum Internasional
Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia. 1980.
Jean Pictet. Development and Principles of
International Humanitarian Law. Martinus Nijhoff Publisher: 1985.
Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi.
Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional. IKIP Malang: 1995.
id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_kemanusiaan_internasional
http://usupress.usu.ac.id/files/Pengantar%20Hukum%20Humaniter%20InternasionalNormal_bab%201.pdf
No comments:
Post a Comment