UPAYA PENGAMBIL ALIHAN PELAYANAN NAVIGASI
PENERBANGAN PADA FIR (FLIGHT INFORMATION REGION ) SINGAPURA DIATAS KEPULAUAN
NATUNA OLEH INDONESIA SEBAGAI USAHA REKONSTRUKSI PERJANJIAN INDONESIA SINGAPURA
TAHUN 1955
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang
Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah Perjanjian Internasional dengan judul “Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi
Penerbangan pada (Flight Information
Region ) Singapura diatas Kepulauan Natuna oleh Indonesia sebagai usaha
rekonstruksi perjanjian Indonesia Singapura tahun 1955"
dengan tepat waktu.
Terimakasih kepada Pak Joko Setiyono yang telah
memberikan bimbingan selama pengerjaan makalah Perjanjian Hukum Internasional
dan juga kepada sumber buku, artikel, yang menjadi sumber penulisan makalah
dengan judul “pengambil
alihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR (Flight Information Region )
Singapura diatas Kepulauan Natuna oleh Indonesia sebagai usaha rekonstruksi
perjanjian Indonesia Singapura pada tahun 1955”
Tak
ada gading yang tak retak.Demikian pula, tak ada karya yang sempurna.Oleh
karena itu, penyaji mengharapkan kritik dan saran dari pembahas untuk kemajuan
makalah ini di masa mendatang.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian FIR
2.2 Perbedaan FIR dengan Wilayah Teritorial
2.3 Proses Pendelegasian Pengelolaan FIR dari Indonesia
ke Singapura
2.4 Dampak Pengelolaan FIR oleh SIngapura Terhadap
Indonesia
2.5 Upaya Pemerintah Indonesia dalam mengembalikan
pengelolaan FIR
2.6 Hambatan-hambatan Pemerintah Indonesia dalam Upaya
Pengambil alihan Pengelolaan FIR
BAB III
3.1 Kesimpulan
3.2 Rekomendasi
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berdasarkan pembagian
FIR sesuai dengan ketentuan ICAO dan agreement yang dibuat antara pemerintah
Indonesia dan Singapura, maka pengaturan keselamatan penerbangannya dilakukan
oleh ATC Singapura.Kewenangan yang dimiliki oleh ATC Singapura menyebabkan
segala aktifitas penerbangan yang berada di FIR Singapura harus berada dibawah
otoritas Singapura, termasuk juga pesawat udara sipil dan pesawat udara negara
yang berasal dari Indonesia.
Dalam
Pasal 262 ayat (1) huruf (a) dan Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang
penerbangan.Indonesia dapat mendelegasikan pemanduan lalu lintas udara tsb
kepada Singapura.Pendelegasian tsb tidak mengurangi kedaulatan negara Republik
Indonesia. Dalam hal Indonesia telah mampu, maka pendelegasian tsb dapat diambil
kembali oleh Indonesia.Selain pendelegasian FIR kepada Singapura, Indonesia
juga memberikan hak komunikasi dilaut dan udara kepada Malaysia yang
menghubungkan Malaysia Barat dan Malaysia Timur yang merupakan kawasan yang
masuk FIR Singapura.
Beberapa hal pokok
yang terdapat dalam perjanjian yang ditanda-tangani pada Tahun 1995 dan
diperkuat oleh Kepres No.07/1996 Tentang Pengesahan Agreement between the Government of The Republic of Indonesia and the
Government of the Republic of Singapore on the Realignmnet of the Boundary
between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight
Information Region adalah :
a.
Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi
penerbangan di wilayah A kepada Singapura dari permukaan laut sampai ketinggian
37.000 feet.
b.
Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi
penerbangan diwilayah sektor B kepada Singapura dari permukaan laut sampai
dengan ketinggian tak terhingga (unlimited
height).
c.
Sektor C tidak termasuk dalam perjanjian
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana dampak yang ditimbulkan bagi Indonesia
terhadap pengelolaan FIR oleh Singapura di Kepulauan Natuna?
- Apakah upaya pemerintah dalam mengembalikan pengelolaan
FIR Indonesia di Kepulauan Natuna terhadap?
- Apakah Hambatan-hambatan Pemerintah Indonesia dalam
Upaya Pengambil alihan Pengelolaan FIR
1.3 Tujuan
Penulisan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perjanjian Internasional
yang diampu oleh Dr. Joko Setiyono SH. Mhum.
1.4 Manfaat
Penulisan
Menambah wawasan mahasiswa fakultas hukum
Universitas Diponegoro tentang kasus pengambil alihan pelayanan navigasi
penerbangan pada FIR (Flight Information Region ) Singapura diatas Kepulauan Natuna
oleh Indonesia sebagai usaha rekonstruksi perjanjian Indonesia Singapura pada
tahun 1955 serta mengetahui wilayah mana saja yang termasuk di dalam kedaulatan
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN FIR
Dalam penerbangan, wilayah informasi penerbangan (bahasa Inggris: flight information region; FIR)
adalah wilayah ruang udara tertentu yang menyediakan layanan informasi
penerbangan dan layanan peringatan (ALRS). FIR adalah pembagian ruang udara
terbesar yang masih digunakan saat ini.FIR sudah ada sejak 1947.
Setiap bagian atmosfer Bumi adalah bagian
dari sebuah FIR.Ruang udara negara-negara kecil dicakup oleh satu FIR; ruang
udara negara-negara besar dibagi lagi menjadi beberapa FIR regional.
Sejumlah FIR melintasi ruang udara darat
beberapa negara.Ruang udara laut dibagi menjadi Wilayah Informasi Laut (Oceanic
Information Region) dan diserahkan kepada otoritas pengendali yang paling
dekat dengan wilayah itu.Pembagian wilayah dilakukan melalui perjanjian
internasional lewat International Civil
Aviation Organization (ICAO).
Tidak ada ukuran standar untuk FIR.FIR itu
urusan administratif negara yang dicakupnya. Kadang-kadang ada pembagian FIR
vertikal yang ruang udara bawahnya tidak berubah nama, namun ruang udara di
atasnya diberi nama Wilayah Informasi
Atas (UIR).
Layanan informasi dan peringatan merupakan
layanan lalu lintas udara paling dasar, menyediakan informasi yang penting
untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan dan memperingatkan otoritas
terdekat seandainya ada pesawat yang mengalami kondisi darurat.Layanan ini
tersedia untuk semua pesawat melalui FIR.Layanan saran dan pengawas lalu lintas
udara yang lebih tinggi tersedia di ruang udara tertentu di dalam FIR, atau
kelas bagian ruang udara menurut ICAO (sesuai peraturan nasional).Layanan
tersebut disediakan oleh otoritas yang cocok dan peralatannya lengkap.
2.2 PERBEDAAN FIR DENGAN WILAYAH TERITORIAL
a. Teritorial adalah wilayah kekuasaaan suatu
negara dalam melaksanakan yuridiksinya, dan sudah diakui oleh negara lain
sebagai bagian dari yuridiksinya baik udara, darat dan laut sedangkan FIR
adalah wilayah ruang udara tertentu yang menyediakan layanan informasi
penerbangan dan layanan peringatan (ALRS). FIR adalah pembagian ruang udara
terbesar yang masih digunakan saat ini.FIR merupakan pelengkap atau sebagai
bukti bahwa udara merupakan hak yuridiksi teritorial suatu negara.
b. Teritorial juga Memberlakukan Prinsip
Teritorial Subjektif (Subjective Territorial Principle) : untuk menuntut
dan menghukum perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan dalam wilayahnya,
tetapi perbuatan itu diselesaikan di wilayah negara lain. (Geneva
Convenstion for Suppression of Counterfeiting Currency 1929 dan Geneva Convention for Suppression of Illicit
Traffic Drug).
Memberlakukan Prinsip Teritorial Objektif (Objective
Territorial Principle) : negara-negara tertentu menerapkan yurisdiksi
teritorial mereka terhadap tindakan pidana yang dilakukan di negara lain,
tetapi :
-Dilaksanakan/diselesaikan di wilayah mereka
-Melaksanakan akibat yang sangat berbahaya bagi wilayah
mereka (ekonomi, sosial).
Sedangkan
FIR mengatur FIR itu
urusan administratif negara yang dicakupnya. Kadang-kadang
ada pembagian FIR vertikal yang ruang udara bawahnya
tidak berubah nama, namun ruang udara diatasnya diberi nama Wilayah Informasi
Atas (UIR).
c.Terriorial mengatur
tentang udara, darat dan laut sedangkan FIR
mengatur udara diatas laut, udara diatas darat sehingga dapat
disimpulkan bahwa FIR hanya mengatur tentang kewenangan negara mana tentang
udara sedangkan teritorial mencakup udara juga tetapi tidak sedetail FIR.
2.3 PROSES PENDELEGASIAN RUANG UDARA
INDONESIA KEPADA FIR SINGAPURA
FIR
Natuna terdiri atas 3 sektor yaitu Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna.Sektor
tersebut merupakan salah satu jalur penerbangan (airways) yang terpadat di
regional Asia dan Pasifik, dibentuk ata spersetujuan bersama negara-negara
anggota ICAO tahun 1946.Pada saat itu negara-negara anggota ICAO menunjuk
Inggris untuk melakukan pengelolaan terhadap FIR Natuna.Inggris kemudian mendelegasikan
pelayanan tersebut kepada Singapura setelah Singapura merdeka pada tahun 1965.
Pada
tahun 1946 wilayah perairan dan sekitar Natuna merupakan bagian dari laut bebas
(high seas) dan belum termasuk ke dalam wilayah (territory) Negara Indonesia.
Oleh karena itu, negara Indonesia dipandang bukan sebagai pihak yang memiliki
kepentingan atas wilayah perairan dan kepulauan Natuna, sehingga pada saat
negara-negara anggota ICAO akanmelakukan penentuan mengenai otoritas mana yang
tepat dierikan tanggung jawab atas penyediaan pelayanan jasa penerbangan (Air
Traffics Services/ATS) terhadap FIR di atas kepulauan Riau dan Natuna, maka
mereka menunjuk kepada Singapura, salah satu negara persemakmuran
(commonwealth) Inggris, umtuk melakukan pengelolaan FIR. Selain itu, Indonesia
sebagai negara yang baru memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1945, berada
dalam masa transisi, dimana disamping belum memiliki batas-batas wilayah negara
yang jelas dengan negara tetangga, juga Indonesia pada saat itu belum menjadi
negara peserta Konvensi Chicago 1944, karena hal itu baru dilakukan pada tahun
1950 pada saat Indonesia menjadi anggota ICAO. Pada saat Regional Air
Navigation (RAN)
Meeting I yang diselenggarakan di Honolulu Hawai tahun 1973, pada pertemuan
tersebut ditetapkan kembali oleh Dewan ICAO bahwa ruang udara di atas kepulauan
Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna termasuk dalam FIR Singapura. Hal itu kembali
dikukuhkan pada RAN Meeting II tahun 1983 di Singapura. Pada pertemuan RAN
Meeting III di Bangkok tahun 1993, Indonesia membuat suatu proposal tentang
pengembangan pelayanan navigasi penerbangan di atas kepulauan Natuna dan
membuat Working Paper No. 55 tentang “Kegiatan yang akan direncanakan untuk
dilaksanakan di atas Kepulauan Natuna” dan meinjau ulang batas FIR.
Pertemuan
menyepakati bahwa Working Paper No. 55 dapat diterima, namun dengan adanya counter paper
oleh
Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan secara bilateral antara
Indonesia dan Singapura. Setelah melalui proses pembahasan yang cukup lama
antara pemerintah Indinesia yang diwakili oleh Directorate General of Air
Communications (DGCA), Indonesia dan pemerintah Singapura dihasilkan suatu
perjanjian mengenai pengalihan batas FIR Jakarta dan FIR Singapura. Inti dari
perjanjian tersebut adalah membagi ruang udara Indonesia di atas kepulauan Riau
dan Natuna ke dalam Sektor A, B, dan C dimana Sektor A (dari permukaan laut –
37.000 kaki) didelegasikan kepada Singapura, sektor B (dari permukaan laut –
ketinggian tak terhingga) didelegasikan kepada Singapura, sedangkan Sektor C
masih akan diselesaikan antara Indonesia-Malaysia-Singapura. Selanjutnya,
Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Route Air
Navigation Services (RANS) Charges di wilayah udara yurisdiksi Indonesia,
khususnya pada sector A yang telah didelegasikan tanggung jawab pemberian
pelayanan navigasi penerbangan kepada Singapura, dan hasil yang terkumpul
diserahkan ke Pemerintah Indonesia.
WILAYAH FIR
2.4 Dampak pengelolaan FIR oleh singapura terhadap
Indonesia
a. Pelanggaran
Kedaulatan Negara di Udara
Ahli tentang Kedaulatan yaitu Jean Jascques Rousseau dalam
karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politiques (mengenai
kontrak social atau prinsip- prinsip hak politik) menyebutkan dan membagi tingkatan kedaulatan
menjadi dua bagia yaitu secara de facto dan de jure. De facto berarti mengacu
kepada hal yang terjadi pada praktek atau kenyataannya,sedangkan de jure
mengacu kepada hal-hal yang berdasarkan pada hukum.
Apabila
dikaitkan dengan penguasaan ATC oleh Singapura di Kepulauan Riau
maka dapat dikatakan bahwa secara de facto kepunyaan Singapura dan secara de jure adalah milik Indonesia.
Pasal 1 Konvensi Chicago mengutip dari Pasal Konvensi Paris Tahun 1919
yang berbunyi “The high
contracting States recognize that over power has complete and exclusive over
the airspace above its territory” yang memperdebatkan
apakah ruang udara itu benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan
kedaulatan Negara dibawahnya atau terbatas seperti laut territorial sebagaimana
diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara
asing. Hal ini dapat diselesaikan pada Konvensi Chicago 1944 seperti yang terdapat
dalam Pasal 1 tersebut. Dengan demikian menurut penulis, ruang udara di wilayah
Negara merupakan wilayah kedaulatan udara pada Negara tersebut dan bukan
sebagai wilayah bebas untuk dilalui oleh penerbangan internasional.
Komando Pertahanan Udara Nasional
(Kohanudnas) melalui satuan yang berada dibawah jajarannya yakni Komando
Sekctor 1 (Kosek 1) telah sering menangkap pergerakan pesawat
asing, khususnya pesawat militer Singapura di Kepulauan Riau melalui Radar 213
Tanjung Pinang dan Satuan Radar 212 Natuna pergerakan pesawat tersebut tanpa
suatu Flight
Clearance yang semestinya sudah menjadi keharusan apabila pesawat
asing terbang di wilayah udara Indonesia. Tindakan ini dikategorikan sebagai
Black Flight dan merupakan tindakan pelanggaran wilayah udara Nasional.
Pelanggaran wilayah udara selama tahun2008 yang terjadi di Kosekhannudnas 1
adalah 18 kali dan tahun 2009 sebanyak 15 kali (Data dari Kosekhanudnas 1,
2010).
b.Kelemahan
Aspek Pertahanan Udara
Dalam strategi penggunaan kekuatan
udara, maka pengendalian atau control terhadap ruang udara sangat mutlak
diperlukan untuk memberikan keleluasaan pada suatu tindakan ofensif.Selain itu
juga memberikan kemudahan untuk pergerakan kekuatan di darat dan pergerakan di
laut. Kharakteristik keunggulan kekuatan udara seperti berupa kecepatan,
penyusupan dan pendadakan seringkali dijadikan sebagai teori dasar untuk
menghancurkan
Center
of Gravity musuh. Sehingga dalam pertempuran udara, strategi penggunaan
kekuatan udara akan selalu terkait dengan pencapaian keunggulan di udara.
James J. Petroni mengatakan,
bahwa: Resiko (Risk) = Ancaman (Treath)+Kerentanan (Vulnerability) -Kemampuan
(Capability). Rumusan ini memberikan penjelasan bahwa resiko yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia akan sangat besar bila ancaman (treath) dan kerentanan
juga sangat besar. Jika dihadapkan pada kemampuan yang dimiliki saat ini, maka
akan menghasilkan resiko sangat besar bagi bangsa Indonesia. Kondisi ini
bila dikaitkan dengan penguasaan ATC oleh Singapura beserta
kemampuan kekuatan udaranya, jelas hal ini menimbulkan suatu resiko. Besar atau
kecilnya suatu resiko akan tergantung pada bagaimana pemerintah Indonesia
mengurangi potensi ancaman dan mengurangi kerentanan yang terjadi saat ini.
Perkiraan resiko dari penguasaan ATC adalah sangat besar
karena ancaman yang dihadapi ada didepan mata. Hal ini semakin bertambah karena
berbatasan dengan Negara tetangga yang mempunyai kemampuan militer cukup
baik. Dengan keterbatasan wilayah darat, laut dan sekaligus wilayah udara, maka
penguasaan ATC tersebut memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada
Singapura untuk melakukan tindakan illegal seperti kegiatan Intelijen,
pemotreta udara, dan melatih para penerbangnya melaksanakan latihan/
training di wilayah udara
Indonesia. Bila keadaan ini terus berlanjut maka bila terjadi konflik terbuka maka
akan dapat dijadikan strategi operasi udara dan akan menjadi suatu ancaman
karena Singapura akan memanfaatkan karakteristik keunggulan kekuatan udara
berupa kecepatan dan pendadakan.
c. Kerugian Ekonomi
Pengertian
Pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan sangat jelas menyebutkan
bahwa penerbangan oleh pesawat asing yang rute penerbangannya melewati
wilayah udara Nasional Indonesia harus mendapat ijin dari Pemerintah Indonesia,
dan pemerintah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk membangun strategi
pertahanan dan meningkatkan perekonomian nasional dengan memanfaakan media
udara. Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan juga bahwa wilayah udara yang
berupa ruang udara di atas perairan dan daratan Republik Indonesia merukapakan
kekayaan Nasional yang harus dimmanfaatkan sebesar besarnya untuk kepentingan
rakyat, bangsa dan Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
berlaku pada Departemen Perhubunngan dibuat untuk mengoptimalkan penerimaan
Negara dalam menunjang kesejahteraan rakyat. Dari aspek ekonomi, ruang udara
jelas merupakan salah satu sumber pendapatan Negara selain minyak dan gas bumi,
karena setiap penerbangan di atas wilayah Indonesia dikenakan pungutan,
walaupun pungutan itu harus dikembalikan lagi ke pemerintah Indonesia untuk
menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk menjamin keselamatan penerbangan.
Rute penerbangan yang dilewati oleh pesawat udara sesuai dengan Rans
Charges, berkewajiban membayar penggunaan media udara untuk navigasi udara
sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh sebuah pesawat.Hal ini sudah
berlaku umum dalam dunia penerbangan dan pelayanan jasa terkait Bandar
udara dikenakan tariff yang berlaku pada masing-masing Negara. Persoalan bidang
ekonomi yang perlu dipetanyakan adalah, apakah fee yang diserahkan ke
pemerintah Indonesia sudah merupakan keseluruhan fee penerbangan .
2.5 Upaya yang Dilakukan Pemerintah Indonesia untuk
mengembalikan pengelolaan FIR kepada Indonesia diatas Kepulauan Natuna
✓
Langkah Diplomatik
-
Indonesia mengirim DELRI ke Asia Pasific Third RAN Meeting di Bangkok
bulan Mei 1993. Indonesia seorang pejabat operasional sedangkan Singapura
terdiri atas jaksa agung, sekjen Perhubungan, para penasehat hukum
internasional maupun hukum laut. Keputusannya agar diselesaikan secara bilateral
dan dilaporkan pada RAN Meeting berikutnya.
-
Pada tataran operasional, Indonesia maupun Singapura saling mengunjungi.
Dalam pembahasan terdapat perbedaan pendapat mengenai batas wilayah laut
berdasarkan UNCLOS 1982 dan Perpu No.4 Tahun 1960. Indonesia telah meratifikasi
UNCLOS 1982, tetapi Indonesia belum menetapkan batas 12 mil berdasarkan UNCLOS
1982, justru yanga da wilayah perairan berdasarkan Perpu No.4 Tahun 1960 yang
baru didaftarkan tahun 1989.
✓
Langkah Teknis
-
Indonesia telah menyiapkan perangkat keras untuk melayani FIR seperti
PSR dan SSR di Tanjung Pinang, PSR (long range di Pontianak), SSR di Natuna,
ER-VHF air ground and VSAT to transport data from all facilities. Kemudian
secara berturut-turut dilakukan pembahasan pada bulan Desember 1993 dan
berakhir bulan Februari 1994.
-
Kesepakatan FIR Zona A radius 100 mil pada ketinggian 20.000 ft masih
dilayani Singapura dan Singapura membayar biaya navigasi udara ke salah satu
BUMN. Sebenarnya FIR sudah sejak 1993 dan telah dilengkapi dengan berbagai peralatan,
tampaknya pada saat itu kurang sungguh-sungguh. Indonesia harus menyiapkan
peralatan yang terkini dan pelayanan yang prima.
✓
Langkah Operasional
-
Menyiapkan fasilitas navigasi penerbangan seperti PSRdan SSR Tanjung
Pinang, PSR, SSR Natuna, ER-VHF air-ground and VSAT to transport data from all
facilities
-
Mempertimbangkan penggua jasa navigasi penerbangan baik penerbangan
nasional maupun asing
-
Forum internasional terutama negara-negara blok Commonwealth pasti
mendukung Singapura karena mereka sepakat saling membantu, khususnya Malaysia
dalam beberapa hal memihak Singapura.
Tindak Lanjut Pemerintah RI terhadap
Singapura dan Malaysia
-
Dengan Pihak Singapura :
o
Mengkaji ulang LOA antara pemerintah Indonesia dan Singapura tentang
pengelolaan ruang udara diatas kepulauan Natuna.
o
Menindaklanjuti kesepakatan data batasan terluar wilayah sektor B,
disesuaikan dengan PP RI No.37 Tahun 2008 Tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
o
Menambah Batas Ketinggian diatas Aerodrome Traffic Zone Batam
o
Menata ulang pengelolaan wilayah ruang udara sektor A, B, C
o
Penempatan personil ATC Indonesia di ACC Singapore serta penempatan
personil management di CAA Singapore
o
Pengembangan ruang udara Approach Control Service oleh Tanjung Pinang
disekitar Natuna
-
Dengan Pihak Malaysia
o
Mengusulkan alternative untuk pembahasan selanjutnya, antara lain :
o
Indonesia mengelola ruang udara area sektor B secara keseluruhan atau
sebagian
o
Indonesia memberikan kebebasan pembayaran jasa pelayanan navigasi
penerbangan bagi pesawat terbang Malaysia
o
Pembahasan dan kesepakatan batas-batas negara RI dengan Singapura dan
Filipina telah selesai, namun dengan Malaysia belum selesai.
o
Pembuatan koridor udara untuk mengakomodir hak lintas bagi pesawat udara
Malaysia.
2.6 Hambatan - hambatan dalam upaya mengembalikan FIR
1. Peralatan Singapura lebih modern
dan sudah menggunakan satelit dalam mengatur lalu lintas udara.
2. Kemampuan dan Fasilitas Navigasi Indonesia tidak
memungkinkan untuk mendapatkan peluang
memegang kendali atas lalu lintas udara di kawasan Asia.
3. Radar yang digunakan Indonesia masih menggunakan radar darat yang
jangkauannya yang tak terlalu luas , kemungkinan harus diganti fasilitas yang
lebih modern.
4. Sebelumnya harus dibuat
rencana cadangan yang andal apabila ada gangguan pada sistem navigasi.
5. Keterbatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam(SDA) yang seharusnya bisa meng-handle dan
mengontrol wilayah udarannya sendiri tanpa melibatkan negara lain.
6. Indonesia belum mampu mengatur penerbangan internasional yang cukup
padat di udara.
7. Minimnya kualitas
infrastruktur dan maupun kesiapan peralatan pendukung keselamatan
penerbangan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam Pasal 262 ayat (1) huruf (a) dan
Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan.Indonesia dapat
mendelegasikan pemanduan lalu lintas udara tsb kepada Singapura.Pendelegasian
tsb tidak mengurangi kedaulatan negara Republik Indonesia. Dalam hal Indonesia
telah mampu, maka pendelegasian tsb dapat diambil kembali oleh Indonesia.Selain
pendelegasian FIR kepada Singapura, Indonesia juga memberikan hak komunikasi
dilaut dan udara kepada Malaysia yang menghubungkan Malaysia Barat dan Malaysia
Timur yang merupakan kawasan yang masuk FIR Singapura.
Secara yuridis
Indonesia mempunya dasar hukum yang kuat untuk mengambl alih wilayah FIR diatas
Pulau Natuna.Zona A masihdiawasi Singapura dalam imbal jasa, tetapi
masih dengan catatan, apabila Indonesia dapat membuktikan wilayahnya.Malaysia ada indikasi tetap mendukung
Singapura FIR diatas Pulau Natuna.FIR pada prinsipnya merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan hakekat kedaulatan wilayah udara dalam masing-masing
negara.Pengelolaan FIR yang merupakan bagian kedaulatan wilayah
udara NKRI diatas kepulauan Riau dan Natuna oleg Singapura memiliki dasar
legalitas.
Rekomendasi
Dalam rangka pengambil alihan FIR perlu
mempertimbangkan peran negara-negara Commonwealth dan para pengguna jasa penerbangan
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Pramono,agus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor : Ghalia
Indonesia
Dasar Hukum
-
Landasan Filosofis Pancasila Sila 1 sampai dengan ke 5
-
Perjanjian Bilateral
Indonesia-Singapura mengenai Pengelolaan FIR Diatas Kepulauan Natuna tahun 1955
-
Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 498.
-
Undang-Undang No.1 Tahun 1983 tentang Pengesahan Perjanjian Antara
Republik Indonesia dann Malaysia Tentang Rejim Hukum Negara Nusantara dan
Hak-Hak Malaysia Di Laut Teritorial Dan Perairan Nusantara Serta Ruang Udara
Diatas Laut Teritorial, Perairan Nusantara Dan Wilayah Republik Indonesia Yang
Terletak Di Antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat
-
PP No. 37 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas PP o. 38 Tahun 2002 Tentang
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
-
ICAO Annex 11 Air Traffic Services
Jurnal dan Lain-lain
-
Aspek Kelayakan dan Teknis Operasional Pelayanan Navigasi Penerbangan
Diatas Pulau Natuna
Oleh : Prof. Dr. H. K Martono SH LLM McSc
-
Aspek Kebijakan Pemerintah tentang Pelayanan Navigasi Penerbangan /
Flight Information Region (FIR)
Oleh Ir. Santoso Eddy Wibowo ( Sekretaris Jenderal
Perhubungan)
-
Aspek Hukum Internasional atas Pelayanan Navigasi Penerbangan / Flight
Information Region. Oleh : Dr. Agus Pramono, S.H., M.Hum
Internet
No comments:
Post a Comment